Bagikan:

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 16/2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan (POJK Penyidikan), penyesuaian dari POJK 22/POJK.01/2015 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan.

Penyesuaian POJK Penyidikan ini merupakan tindak lanjut dari amanat Undang-Undang (UU) Nomor 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) yang telah memberikan perluasan kewenangan penyidikan dan penyelesaian pelanggaran di sektor jasa keuangan kepada OJK.

“Sebelumnya dalam UU No. 21/2011 tentang OJK juga sudah mengatur mengenai kewenangan penyidikan OJK di sektor jasa keuangan,” kata Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan dan Komunikasi OJK Aman Santosa dalam keterangan resmi, di Jakarta, dikutip dari Antara, Jumat 25 Agustus.

Sesuai UU P2SK, pengaturan yang berubah di POJK 16/2023 adalah mengenai cakupan tindak pidana di sektor jasa keuangan, kategori penyidik OJK, kewenangan penyidik OJK, termasuk melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang.

Kemudian, juga penyelesaian pelanggaran peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, serta perluasan informasi dan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) yang dapat dimintakan keterangan dan pemblokiran rekening.

Dengan POJK ini, ujar dia lagi, maka cakupan tindak pidana di Sektor Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi perbankan, pasar modal, keuangan derivatif, dan bursa karbon, lalu perasuransian, penjaminan, dan dana pensiun.

Selanjutnya, juga meliputi lembaga pembiayaan, perusahaan modal ventura, lembaga keuangan mikro, dan LJK lainnya, inovasi teknologi sektor keuangan serta aset keuangan digital dan aset kripto, serta perilaku pelaku usaha jasa keuangan serta pelaksanaan edukasi, dan pelindungan konsumen yang mencakup kegiatan konvensional dan syariah.

“Dalam POJK ini, juga mengatur mengenai kategori penyidik OJK yang bersumber dari pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu, dan pegawai tertentu yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan,” ujar Aman Santosa.

Pada Pasal 6, dijelaskan bahwa penyidik OJK berwenang untuk menentukan dilakukan atau tidak dilakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana di sektor jasa keuangan yang dilakukan sebelum penyidikan dimulai. Dalam melaksanakan penyidikan, OJK disebut berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pada tahap penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), pihak yang diduga melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan juga dapat mengajukan permohonan kepada OJK untuk penyelesaian pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Penyelesaian pelanggaran dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada OJK dengan memuat nilai kerugian yang ditimbulkan dan dasar perhitungannya, jumlah korban yang dirugikan dan keterangan lain terkait korban, bentuk penyelesaian kerugian dan jangka waktu penyelesaian, klausul jika kerugian tidak diselesaikan OJK berwenang melanjutkan ke tahap penyidikan, dan upaya perbaikan proses bisnis dan tata kelola.

“(Adapun) untuk tindak lanjut hasil penyidikan, pada Pasal 21, penyidik OJK sesuai kewenangannya menyampaikan hasil penyidikan kepada jaksa untuk dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujarnya pula.