Ruang Demonstran Beraksi Makin Sulit, Pengadilan Hong Kong Melarang Penggunaan Topeng
Ilustrasi foto (Larry Costales/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Pengadilan tertinggi di Hong Kong memutuskan, pemerintah memiliki hak meminta kekuatan darurat untuk melarang pemakaian topeng dalam semua prosesi dan pertemuan publik saat puncak protes 2019. Selama protes anti-pemerintah yang sebagian besar telah mereda, banyak pengunjuk rasa mengenakan topeng untuk menyembunyikan identitas mereka dari pihak berwenang dan melindungi diri dari gas air mata.

Mengutip Reuters, Senin, 21 Desember, Pengadilan Banding Akhir melangkah lebih jauh dari keputusan pengadilan yang lebih rendah pada April yang menegakkan hak pemerintah untuk memberlakukan tindakan darurat. Tetapi pengadilan juga memutuskan larangan penggunaan topeng tidak konstitusional.

Anggota parlemen oposisi dan aktivis lalu mengajukan peninjauan yudisial atas Undang-Undang (UU) Anti-Topeng tersebut. Ditetapkan UU Anti-Topeng mengakhiri kontroversi seputar langkah pemerintah untuk memadamkan protes anti-pemerintah dengan menerapkan UU Peraturan Darurat (ERO) era kolonial pada 5 Oktober untuk melarang penutup wajah saat demonstrasi, terlepas dari apakah terjadi kekerasan atau tidak.

Namun langkah tersebut mendorong 25 anggota parlemen oposisi, yang telah mengundurkan diri atau digulingkan untuk mengajukan peninjauan kembali menantang kemungkinan pelanggaran terhadap kebebasan sipil serta legalitas undang-undang era kolonial yang memungkinkan pemerintah melewati Dewan Legislatif.

Berbicara di luar pengadilan, anggota parlemen yang digulingkan dan aktivis oposisi veteran Leung Kwok-hung, mengungkapkan kekecewaannya. Ia mengklaim peradilan berada di bawah tekanan besar dan dia mengatakan bahwa pengamanan menunjukkan semakin nyatanya cengkeraman China terhadap Hong Kong.

Sejak 2019, larangan penggunaan topeng di bawah UU Darurat, telah ditetapkan sebagai aturan yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD). Selain itu, dalam pertimbangannya para hakim juga menilai larangan tersebut menjadi alasan bagi polisi untuk melakukan pelepasan masker medis secara paksa, termasuk pada masyarakat yang tidak ikut protes.

Namun, pihak pemerintah Hong Kong bersikukuh penerbitan UU darurat itu masuk akal. Menurut mereka, UUD tak pernah melarang Dewan Legislatif untuk memberi kewenangan kepada eksekutif untuk membuat peraturan darurat. Pemerintah Hong Kong juga menilai peraturan Anti-Topeng memberi dampak nyata. 

Diterbitkannya UU darurat Anti-Topeng pada 2019 disebut sebagai bagian dari upaya meredam gelombang protes yang saat itu tengah gencar memprotes RUU Ekstradisi. Salah satu aktivis demokrasi paling terkemuka di Hong Kong, Joshua Wong, ditangkap karena diduga melanggar undang-undang anti-topeng. Partisipasinya dalam unjuk rasa anti-pemerintah pada 2019 juga dianggap bentuk pelanggaran hukum.

Selain itu, penggunaan tutup wajah seperti masker, telah lama menjadi hal umum di Hong Kong ketika orang sakit. Penggunaan masker semakin masif ketika terdapat mandat penggunaan masker oleh Pemerintah Hong Kong untuk menekan penyebaran COVID-19.