Bagikan:

JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menegaskan bahwa praktik korupsi bisa dilakukan pada lembaga manapun. Korupsi juga bisa terjadi di di perguruan tinggi, yang menjadi tempat lahirnya orang-orang cerdas penerus bangsa Indonesia.

“Korupsi bisa di mana saja terjadi, tidak hanya di Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, tapi juga di dunia pendidikan. Dari suap pengadaan barang dan jasa, sampai penerimaan mahasiswa baru," kata Firli dalam keterangan tertulis yang diterima pada Minggu, 18 Desember.

Firli merinci, sejak KPK didirikan pada 2004 hingga 30 November 2022, sudah 1479 orang ditangkap karena korupsi. Namun faktanya praktik korupsi masih saja terjadi.

Berdasarkan fakta tersebut, Firli mengaku pihaknya turut andil sebarluaskan literasi antikorupsi untuk tingkatkan integritas perguruan tinggi.

“Melihat itu, kita sadar, sulit berantas korupsi hanya dengan penindakan saja. Kita libatkan juga seluruh pemangku kepentingan, termasuk perguruan tinggi untuk memasukan pendidikan antikorupsi dalam perkuliahan,” ujar Firli.

Selain itu, Firli menuturkan KPK berencana melakukan pengukuran Indeks Integritas Pendidikan pada perguruan tinggi. Tujuannya, untuk mengetahui seberapa integritas sebuah perguruan tinggi, risiko korupsi, dan perbaikan yang bisa dilakukan untuk mencegah korupsi.

“Kita masih siapkan kriteria, indikator penilaian, alat ukurnya, metodenya. Karena kalau hanya sekedar nilai, tanpa ada yang bisa diperbaiki, kita sia-sia lakukan survei,” urainya.

Berkaitan dengan itu, sebelumnya KPK mengungkapkan masyarakat di Indonesia kini telah semakin paham apa itu korupsi. Namun, pengetahuan ini tak didasari sikap untuk menjauhi praktik tersebut.

"Masyarakat kita memang semakin paham soal korupsi. Tapi, ketika kita ukur perilaku mereka itu enggak sejalan dengan pemahaman," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, beberapa waktu lalu.

Dari pengukuran itu, diketahui masih banyak orang yang memberi uang ke penyelenggara negara. Hal ini bahkan dianggap sebagai praktik yang lumrah dan harus dilakukan untuk mempercepat perizinan maupun administrasi.

"Memberikan sesuatu ke penyelenggara negara, itu masih dianggap sesuatu yang lumrah," tegas Alexander.

Selain itu, masyarakat kebanyakan tak merasa bersalah setelah memberikan uang. Bahkan, Alexander pernah mendengar langsung ada pengusaha yang bilang mengurus perizinan tak ada yang gratis.

"Orang ketika mengurus perizinan dia memberikan sesuatu itu juga bukan suatu hal yang buat mereka menjadi merasa bersalah. Wajar saja. Bisnis seperti itu, enggak ada perizinan yang gratis," ungkapnya.

"Mereka sampaikan itu, pengusaha-pengusaha. 'Enggak ada perizinan yang gratis. Kalau ekonomi kami masih untung ya ga ada masalah'," sambung Alexander meniru pernyataan para pengusaha itu.