JAKARTA - Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto menyarankan agar polisi menerapkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan bagi mereka yang terlibat aksi 1812. Para koordinator aksi 1812 disebut bisa dijerat dengan sanksi yang lebih berat.
"Bisa saja Undang-Undang Kekarantinaan itu diterapkan. Aksi tersebut tentunya ada koordinator dan penggeraknya. Mereka inilah yang harusnya dikenai sanksi lebih tegas," kata Bambang kepada VOI, Jumat, 18 Desember.
Bambang juga menyinggung soal oknum massa aksi yang melakukan aksi anarkistis. Mereka disebut bisa langsung dikenakan sanksi pidana.
Terkait aksi 1812, ada dua anggota Polri terluka. Keduanya disebut mengalami luka bacok akibat seragan dari oknum massa.
"Anarkisme dan kekerasan kepada aparat lebih tepat disebut melawan negara, bukan pembangkangan lagi," kata dia.
BACA JUGA:
Sementara itu, kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Ferdinand Andi Lolo mengatakan, untuk para koordinator aksi bisa dikenakan Pasal penghasutan. Alasannya mereka yang mengajak dan berkoordinir aksi tersebut.
“Penggeraknya dimungkinkan dikenakan pasal 160 KUHP karena melawan aparat yang menegakkan aturan," ungkap dia.
Sementara pihak lainnya atau yang ikut terlibat bisa dipersangkakan dengan Pasal 93 Undang-Undang No 06/2018 tentang Karantina Kesehatan. Sehingga, dengan penindakan tegas ini bakal menjadi cerminan agar tak ada aksi serupa di massa pandemi COVID-19.
"Sanksi denda, pidana, administrasi harus dijalankan. Tapi aparat harus konsisten, semua pelanggar apakah perorangan atau kelompok massa harus ditindak dengan tegas," kata dia.