Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi I DPR Krisantus Kurniawan menilai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan adalah sebagai bagian dari kebijakan sosial dari upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial.

Dia melihat pembaruan KUHP jika dikaitkan dengan tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama, maka ekspresi agama tidak luput dari kehidupan sosial setiap individu umat beragama. Sehingga keharmonisan antar umat beragama merupakan bagian dari kebijakan sosial

“Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat. Dalam hal ini adalah upaya perlindungan terhadap umat beragama, sehingga dalam mengekspresikan agama, setiap umat beragama merasa aman dan hidmat tanpa adanya gangguan berupa kejahatan-kejahatan yang akan mengancam berlangsungnya kegiatan beragama,” tuturnya dalam Webinar bertema Dukung KUHP Buatan Indonesia, akhir pekan lalu.

Substansi Hukum

Menurut politisi asal pemilihan Kalimantan Barat tersebut sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, lanjutnya pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.

“Kebijakan atau politik hukum pidana dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum pidana. Pertama, usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi yang ada pada suatu saat,” tuturnya.

Kedua, lanjutnya, kebijakan dari negara melalui badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

Ditinjau dari sudut politik hukum ini, maka melaksanakan kebijakan hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan hukum pidana yang memenuhi syarat keadilan, daya guna sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.

Senada dengan itu Dr. Geofakta Razali, dosen komunikasi Universitas Bunda Mulia dan Founder Mindtalheatlh Training menuturkan ramainya informasi keliru tentang KUHP baru tidak lepas dari kondisi masyarakat dan teknologi yang berada pada era post-modern.

“Saat ini, media sosial merupakan era post-modern dimana seluruh hal dipertanyakan dan diungkapkan secara bebas terus menerus. Maka menjadi tantangan dari pemerintah untuk memberikan informasi yang benar dan tulus,” tuturnya.

Pendapat Geo didukung Prof. Henri Subiakto, Guru Besar FISIP, Universitas Airlangga yang menuturkan maraknya disinformasi KUHP baru disebabkan fenomena mass self communication akibat kemudahan sosial media.

Menurut Staf Ahli Menkominfo RI tersebut berita tentang isi KUHP sering tidak lengkap sehingga munculkan disinformasi. “Ini disebarkan oleh pihak yang berkeberatan dengan KUHP baru dan lalu ditulis oleh media tanpa kemauan untuk mempelajari dan memahami pasal-pasal tersebut.”

Kontroversial

Prof. Henri Subiakto mendapati disinformasi tak hanya pada terjadi pada KUHP baru tetapi juga terhadap UU Cipta Kerja dan UU ITE dan dalam hal ini hampir semua isu kontroversial selalu ada yang memanfaatkan untuk unjuk rasa.

“Harus diakui ini adalah persoalan Komunikasi Negara dan problem utamanya adalah ketidak jelasan argumentasi Pemerintah dan Negara. Ini kekalahan Komunikasi. Sehingga harus disadari oleh seluruh unsur pemerintah untuk memberikan informasi yang benar tentang KUHP yang mulai berlaku tiga tahun mendatang,” pungkasnya.