Bagikan:

JAKARTA - Saling jawab antara Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD terkait kerumunan yang ditimbulkan oleh pendukung Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab menjadi perhatian publik. Hal ini lantas dianggap sebagai cerminan buruknya komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Saling jawab ini awalnya bermula setelah Ridwan Kamil  meminta agar Mahfud bertanggung jawab perihal munculnya kerumunan para pendukung Rizieq Shihab. Dia bahkan menyebut, masalah ini sebenarnya berawal dari pernyataan Mahfud yang dianggapnya memicu kerumunan.

"Kekisruhan saya nilai berlarut awalnya ini dari Pak Mahfud. Menjadi tafsir berbeda di masyarakat, bahwa saat Habib Rizieq pulang boleh dijemput selama tertib dan damai," kata Ridwan usai menjalani pemeriksaan di Mapolda Jawa Barat, Bandung, Rabu, 16 Desember.

Mantan Wali Kota Bandung ini kemudian meminta Mahfud bertanggung jawab sebagai Menko Polhukam. Dengan kata lain, dia meminta agar pihak kepolisian harusnya turut memeriksa Menko Polhukam  tersebut. 

Apalagi, dia menganggap, pernyataan Mahfud sebelum Rizieq tiba di Indonesia pada 10 November lalu menimbulkan kerumunan di sejumlah lokasi termasuk di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten.

"Saya kira beliau harus bertanggung jawab dan semua punya peran yang harus diklarifikasi," tegasnya.

Mendengar Ridwan meminta dirinya bertanggung jawab, Mahfud pun menjawab hal ini melalui akun Twitternya @mohmahfudmd dan mengaku siap bertanggung jawab atas pernyataannya tersebut.

"Siap, Kang RK. Saya bertanggung jawab. Saya yang umumkan HRS diizinkan pulang ke Indonesia karena dia punya hak hukum untuk pulang," ungkapnya dalam akun resminya tersebut.\

Selain itu, dia juga membenarkan dirinyalah yang mengumumkan soal penjeputan Rizieq di bandara meski saat itu dia menekankan penjemputan yang dilakukan harus tertib dan taat protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan COVID-19.

"Saya juga yang mengumumkan HRS boleh dijemput asal tertib dan tak melanggar protokol kesehatan. Saya juga yang minta HRS diantar sampai Petamburan," katanya.

Meski begitu, dia merasa hal ini disampaikannya karena pemerintah memang saat itu memberikan diskresi untuk penjemputan, pengamanan, dan pengantaran dan semuanya berjalan tertib. "Tapi acara pada malam hari dan hari-hari berikutnya yang menimbulkan kerumunan orang sudah di luar diskresi yang saya umumkan," tegasnya.

Setelah Mahfud mencuitkan hal tersebut lewat akun resminya, Ridwan kembali menjawab pernyataan Mahfud. Jawaban ini disampaikan lewat akun Twitternya @ridwankamil. Dalam cuitannya itu, Ridwan kemudian menilai pemerintah pusat dan daerah harusnya saling memikul tanggung jawab yang sama.

"Siap Pak Mahfud. Pusat dan daerah harus sama-sama memikul tanggung jawab," katanya.

Lewat tulisannya, dia mempertanyakan kenapa hanya kepala daerah dari Jawa Barat saja yang berkali-kali diperiksa pihak kepolisian sementara kerumunan juga terjadi di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten justru didiamkan padahal kondisinya sangat ramai hingga dianggapnya menimbulkan kerugian.

"Mengapa kerumuan di bandara yang sangat masif dan merugikan kesehatan/ekonomi tidak ada pemeriksaan seperti halnya kami berkali-kali. Mengapa kepala daerah yang terus dimintai bertanggung jawab. Mohon maaf jika tidak berkenan," ungkapnya melalui cuitannya tersebut.

Kondisi saling berbalas ungkapan antara Ridwan Kamil dan Mahfud MD ini kemudian ditanggapi oleh anggota Komisi II DPR RI Nasir Djamil. Dirinya meminta agar Ridwan Kamil tidak perlu 'cengeng' karena sebagai kepala daerah dia punya tanggung jawab sesuai aturan perundangan, begitu juga dengan Mahfud MD.

Melempar pernyataan seperti yang disampaikannya usai menjalani pemeriksaan di Mapolda Jawa Barat, justru dianggap Nasir adalah sebuah tanda jika dia belum siap memikul tanggung jawabnya sebagai kepala daerah.

"Ridwan Kamil jangan cengeng. Masing-masing sudah punya tanggung jawab sesuai aturan perundangan. Melemparkan tanggung jawab ke Menko Polhukam soal kerumunan menunjukkan bahwa RK belum siap memikul tanggung jawab," kata Nasir saat dihubungi VOI.

Bukan hanya itu, dengan adanya saling lempar tanggung jawab semacam ini juga menunjukkan adanya pola komunikasi yang salah antara pemerintah pusat dan daerah.

"Melempar tanggung jawab ke Menko Polhukam sama saja memperlihatkan tidak ada koordinasi antara (pemerintah, red) pusat dan daerah," tegasnya.

Senada dengan Nasir, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin menilai, apa yang dilakukan oleh Ridwan Kamil dan Mahfud MD adalah contoh dari buruknya komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah. Selain itu, keduanya juga tampak seakan membangun pencitraan dalam masalah ini.

"Keduanya ingin membangun pencitraan masing-masing," ujar Ujang.

Khusus untuk Ridwan, dia juga dinilai seakan tak ingin disalahkan sehingga dirinya membawa nama lain yaitu Menko Polhukam Mahfud MD dalam pusaran kasus kerumunan ini.

Lebih lanjut, Ujang menilai, hal semacam ini harusnya tidak terjadi. Sebab, saling salah menyalahkan tak menyelesaikan masalah yang sudah terjadi dan terkait masalah hukum harusnya siapapun yang terlibat dalam kasus ini turut diperiksa dan diklarifikasi termasuk menteri sekalipun.

"Bagusnya tidak saling menyalahkan. Soal konsep keadilan, hukum memang harus adil dan tidak memihak. Jadi kalau ada kepala daerah yang diperiksa soal kerumunan, tak ada salahnya juga jika polisi mengklarifikasi dan menanyai menteri," katanya.

Hanya saja, dia menilai, polisi tak akan memanggil Mahfud. Sebab, polisi berada di bawah koordinasi Menko Polhukam.

"Tak mungkin juga polisi minta klarifikasi Mahfud karena polisi kan ada dalam koordinasinya," tegas Ujang.