Bagikan:

JAKARTA - Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menilai Mahkamah Agung (MA) perlu mendapat perbaikan mulai dari dasar imbas banyak hakim agung terseret kasus suap penanganan perkara.

Hal itu disampaikan peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman dalam acara diskusi bertajuk 'Hakim Agung Kembali Jadi Tersangka Korupsi, Langkah Apa yang Mesti Dilakukan untuk Memperbaiki?' pada Selasa 15 November.

"Tanpa perubahan mendasar, saya percaya persoalan ini (suap pengurusan perkara) akan terulang di masa depan," ujarnya disitat Antara.

Lebih lanjut, Zaenur menyampaikan sejumlah perubahan mendasar yang dapat dilakukan oleh MA itu, di antaranya adalah melakukan perbaikan rekrutmen, pembinaan, dan pengawasan di tubuh internal mereka.

Terkait dengan pembinaan, Zaenur mengatakan MA harus mampu menghilangkan budaya setor serta budaya menerima pemberian atau gratifikasi dalam mengadili suatu perkara.

Kemudian dari sisi pengawasan, kata dia, MA harus bersedia menerima pengawasan dari pihak eksternal yang telah dijamin oleh UUD NRI 1945, yakni Komisi Yudisial (KY).

Sejauh ini, Zaenur menilai MA "alergi" terhadap pengawasan dari Komisi Yudisial karena kerap mengabaikan rekomendasi yang diberikan.

"MA selama ini alergi dengan pengawasan dari KY. Mengapa saya katakan alergi? Karena nyatanya, MA sering mengabaikan rekomendasi dari KY, khususnya dalam penegakan kode etik. Itu menunjukkan bahwa ada resistensi dari MA terhadap pengawasan dari pihak eksternal," ucapnya.

Dengan sikap yang seperti itu, lanjut dia, tidak ada kontrol terhadap kekuasaan yang sangat besar di badan peradilan Tanah Air ini.

Dalam kesempatan yang sama, Zaenur menekankan suap pengurusan dan jual beli perkara di badan peradilan harus segera diberantas karena hal tersebut merupakan masalah besar yang dapat merusak penegakan hukum di Indonesia.

"Orang juga tidak lagi percaya pada hukum karena yang punya uang dan mau menyuap itulah yang bisa membeli hukum sehingga tidak pernah hadir keadilan," tandasnya.