Bagikan:

JAKARTA - Sampai saat ini, pemerintah belum juga menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) untuk kasus gagal ginjal akut progresif atipikal di Indonesia, meskipun kasus meninggal sudah mencapai 56 persen.

Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengklaim, pemerintah telah melakukan respons penanganan kasus gagal ginjal akut secara cepat dan komprehensif meskipun status KLB tak ditetapkan.

"Respons-respons cepat dan secara komprehensif itu sudah kita lakukan sebagai respons dalam kasus atau keadaan KLB," kata Syahril dalam konferensi pers virtual, Selasa, 25 Oktober.

Syahril menjelaskan, Kemenkes bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan pihak lainnya telah melakukan penelitan, menerapkan larangan penggunaan obat sirop, mengumumkan daftar obat yang masih aman digunakan, dan mendatangkan obat penawar gagal ginjal akut dari luar negeri.

Sementara, lanjut Syahril, dalam Undang-Undang tentang Wabah Penyakit Menular dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1501 Tahun 2010, status KLB diterapkan pada penyakit yang menular. Syahril mengaku penetapan status KLB pada gagal ginjal akut justru melanggar undang-undang.

"Dengan keadaan begini, maka kita sudah menyiapkan suatu hal persiapan bahwasanya keadaan ini sama dengan KLB, cuma namanya saja (tidak ditetapkan), supaya tidak melanggar undang-undang atau peraturan sebelumnya yang mendasari penetapan status KLB di suatu daerah atau di suatu negara kita ini," jelas Syahril.

"Mudah-mudahan apa yang Kemenkes lakukan bersama yang lain adalah respons-respons yang menunjukkan keadaan kita sudah lebih dari respons KLB termasuk pembiayaan-pembiayaan yang dibebankan kepada pemerintah," lanjutnya.

Sebelumnya, Ahli epidemiologi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan, upaya penanggulangan gagal ginjal akut saat ini belum optimal jika pemerintah tidak menetapkan status KLB.

Sebab, saat ini banyak pemerintah daerah yang kesulitan melakukan penanganan penyakit ini karena keterbatasan anggaran dan fasilitas pelayanan kesehatan masing-masing daerahnya.

"Pasien di daerah, misalnya untuk pasien dari Baubau ke (RS rujukan di) Makassar atau ke Kendari, mau pakai apa ke sana? Perahu? Enggak bisa, harus pesawat. Uangnya dari mana? Jangankan warganya, pemerintah daerahnya juga belum tentu punya uang," kata Dicky dalam diskusi virtual, Sabtu, 22 Oktober.

Menurutnya, yang dikhawatirkan jika penanganan kasus gagal ginjal akut hanya pada 14 rumah sakit rujukan, adalah perburukan kondisi pasien karena penanganan yang membutuhkan waktu.

"Kendalaknya saat ini adalah mengumpulkan pasien dan membutuhkan waktu, akhirnya pasien meninggal juga. Jadi, artinya status KLB ini penting untuk membantu masyarakat. Jangan dilihat di Jakarta kasusnya banyak, tapi juga di daerah di luar Jakarta ini saya kira jauh lebih banyak," tegas Dicky.