Pelaut Myanmar Bakal Gantikan 8 ABK Asal Indonesia yang Telantar di Taiwan
Delapan ABK asal Indonesia yang terkatung-katung di atas kapal kargo, yang diduga milik perusahaan asal Hong Kong, di Pelabuhan Kaohsiung, Taiwan (ANTARA FOTO/Fahmi Fahmal Sukardi/Adm/tom)

Bagikan:

JAKARTA - Otoritas kelautan Taiwan setuju membolehkan sembilan pelaut Myanmar untuk menggantikan delapan anak buah kapal (ABK) berkebangsaan Indonesia yang telantar selama lebih dari tujuh bulan di Pelabuhan Kaohsiung.

Saat ini, permohonan visa mereka sedang diproses di kantor perwakilan Taiwan di Myanmar, kata otoritas yang berada di bawah Kementerian Transportasi dan Komunikasi (MOTC) Taiwan, Selasa 4 Oktober.

Para pelaut Myanmar tersebut bakal menggantikan para pelaut Indonesia di atas kapal Jian Ye, ditarik ke Pelabuhan Kaohsiung Februari 2022, sebagaimana dilaporkan kantor berita Taiwan, CNA.

Kapal kargo yang terdaftar di Togo tersebut ditarik ke Kota Kaohsiung untuk menghindari bencana dan kemungkinan polusi di laut lepas wilayah perairan dekat Taiwan.

Namun, otoritas Taiwan tidak bisa memastikan waktu kedatangan para pelaut Myanmar maupun lamanya masa karantina.

Otoritas setempat hanya menyetujui rencana kedatangan dan serah terima awak kapal akan selesai dalam satu hari.

Perkembangan kasus itu mengalami kemajuan setelah para ABK Indonesia mengirimkan surat pernyataan kepada CNA pada September bahwa mereka tidak mendapatkan gaji bulanan, dilansir dari Antara.

Para ABK juga menyebutkan tidak bisa meninggalkan kapal, yang panjangnya 74,07 meter dan berat 1.395 ton, sejak kapal tersebut ditarik ke pelabuhan di wilayah selatan Pulau Taiwan itu pada 23 Februari.

MOTC memerintahkan mereka untuk tetap bertahan di atas kapal hingga ABK baru datang menggantikannya, tulis para pelaut Indonesia dalam suratnya kepada kantor berita Taiwan itu.

Para ABK Indonesia minta diizinkan pulang ke Indonesia agar bisa berkumpul dengan keluarga di kampung halaman dan mencari pekerjaan baru untuk menafkahi keluarga mereka.

Ansensius Guntur dari Stella Maris, yang memberikan pendampingan kepada para ABK tersebut, mengatakan masa kontrak kerja para ABK itu habis pada 6 September dan bahwa mereka bersedia mengakhiri kontrak kerja mereka dengan majikan lama.

Dalam perjanjian kerja, mereka dibayar 22.216 dolar Taiwan (Rp10,6 juta) per bulan.

Namun, mereka harus menyetujui tidak mengajukan tuntutan hukum, baik perdata maupun pidana, sesuai kesepakatan yang mereka buat.

Setiap ABK Indonesia akan mendapatkan tiket pesawat dari Kaohsiung menuju Jakarta dan pemenuhan biaya-biaya yang dikeluarkan selama di Kaohsiung.

Para ABK Indonesia menyetujui kesepakatan tersebut karena yang mereka inginkan hanyalah pulang secepatnya.

Legal Aid Foundation sebelumnya bersedia memberikan bantuan hukum kepada para ABK Indonesia agar bisa mendapatkan haknya sebesar 22.216 dolar Taiwan per bulan dari pemilik baru kapal itu.

Meskipun kapal tersebut sudah ada majikan baru, para ABK Indonesia hanya ingin pulang tanpa mengajukan tuntutan hukum atas gaji yang belum mereka terima, umar lembaga bantuan hukum dari Taiwan itu.

Pada Agustus tahun ini, otoritas pelabuhan sempat menawarkan pulang kepada sebagian awak atas bantuan pemerintah Indonesia, tanpa harus menunggu kedatangan awak pengganti.

Syaratnya, sepertiga dari awak harus bertahan di kapal demi keamanan kapal.

Para ABK Indonesia menolak tawaran tersebut karena mereka tidak bisa menentukan siapa yang harus pulang dan siapa yang harus tinggal, kata Guntur.