Bagikan:

JAKARTA - Giorgia Meloni menjadi calon kuat perdana menteri Itala, pertama kalinya posisi tersebut diduduki wanita sejak Perang Dunia Kedua, setelah memimpin aliansi konservatif memenangi pemilihan Hari Minggu.

Jelang hasil akhir pemilihan, kelompok kanan memiliki mayoritas yang kuat di kedua majelis parlemen, berpotensi memberikan Italia kesempatan langka stabilitas politik setelah bertahun-tahun pergolakan dan koalisi rapuh.

"Giorgia Meloni telah menang," tulis harian terbesar Italia, Corriere della Sera, seperti melansir Reuters 26 September.

Sementara, Il Tempo yang berhaluan kanan memuat judul "Ini giliran Giorgia".

Meloni dan sekutunya menghadapi daftar tantangan yang menakutkan, termasuk melonjaknya harga energi, perang di Ukraina dan perlambatan baru di ekonomi terbesar ketiga zona euro itu.

"Kita harus ingat bahwa kita tidak berada di titik akhir, kita berada di titik awal. Mulai besok kita harus membuktikan nilai kita," kata Meloni yang berusia 45 tahun kepada para pendukung partai nasionalis Brothers of Italy, Senin pagi.

Dia telah berjanji untuk mendukung kebijakan Barat tentang Ukraina, tidak mengambil risiko dengan keuangan Italia yang rapuh.

Ibu kota Eropa dan pasar keuangan akan dengan hati-hati meneliti langkah awal dia, mengingat masa lalunya yang skeptis dan posisi ambivalen sekutunya di Rusia.

Dalam pidato kemenangannya, Meloni memberikan nada damai.

"Jika kita dipanggil untuk memerintah negara ini, kita akan melakukannya untuk semua orang Italia, dengan tujuan menyatukan rakyat dan fokus pada apa yang menyatukan kita daripada apa yang memisahkan kita," kata Meloni.

"Ini adalah waktu untuk bertanggung jawab," tegasnya.

Dengan hasil yang dihitung di lebih dari 90 persen tempat pemungutan suara, Brothers of Italy memimpin dengan lebih dari 26 persen, naik dari hanya 4 persen dalam pemilihan nasional terakhir pada tahun 2018, karena para pemilih memilih sosok yang sebagian besar belum dicoba untuk memilah-milah banyak masalah negara.

Meloni akan menggantikan Perdana Menteri Mario Draghi, mantan kepala Bank Sentral Eropa, yang mendorong Roma ke pusat pembuatan kebijakan Uni Eropa selama 18 bulan bertugas, menjalin hubungan dekat dengan Paris dan Berlin.

Terlepas dari hasil yang jelas, pemungutan suara itu bukanlah dukungan yang kuat untuk aliansi konservatif. Jumlah pemilih hanya 64 persen dibandingkan 73 persen empat tahun lalu, rekor terendah di negara yang secara historis memiliki partisipasi pemilih yang kuat.