JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta proaktif mengusut dugaan jual beli jabatan di Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Pengusutan dinilai tak perlu menunggu laporan dari pihak lain.
"KPK bisa langsung selidiki (dugaan jual beli jabatan di DKI Jakarta, red) tanpa harus ada laporan dari masyarakat," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada VOI, Selasa, 30 Agustus.
KPK, sambung Boyamin, harus ingat kewajibannya untuk menyelidiki semua dugaan korupsi yang diduga terjadi. Termasuk, terkait jual beli jabatan di DKI Jakarta yang awalnya disampaikan Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta Gembong Warsono.
Boyamin mengingatkan komisi antirasuah tidak boleh menunggu. Mereka harus bergerak melakukan pengusutan.
"Kewajiban KPK untuk selidiki semua dugaan korupsi. Tidak boleh menunggu (melakukan pengusutan, red)," tegasnya.
Gembong Warsono mengaku mendengar berbagai informasi terkait praktik lancung yang marak terjadi di masa kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Kabar ini makin santer jelang berakhirnya masa jabatan eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tersebut.
"Di akhir masa jabatan gubernur, saya mendengar banyak persoalan ASN kita dalam jual beli penempatan. Sudah berapa oknum saya temukan," kata Gembong kepada wartawan, Rabu, 24 Agustus.
Gembong menyebut praktik jual beli ini terjadi berbagai posisi dari lurah, kepala seksi satuan kerja perangkat daerah (SKPD) hingga camat.
BACA JUGA:
Ia mencontohkan untuk jabatan kepala sub seksi menjadi kepala seksi dalam eselon yang sama dibanderol harga Rp60 juta. Kemudian, posisi lurah seharga harga hingga Rp100 juta sementara jabatan camat dipatok Rp200 juta hingga Rp250 juta.
Terkait dugaan itu, KPK mempersilakan pihak yang mengetahui untuk melapor. Mereka baru bisa bergerak ketika ada pelaporan.
"Silakan bagi masyarakat yang tahu ada dugaan korupsi di sekitarnya maka laporkan kepada penegak hukum," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dihubungi VOI, Kamis, 25 Agustus.
Ali mengatakan KPK tak bisa bergerak sembarangan apalagi berdasarkan asumsi dan persepsi. Harus ada barang bukti awal sebelum melakukan pengusutan.
"KPK sebagai penegak hukum tentu dalam bekerja bukan berdasarkan asumsi dan persepsi apalagi misalnya hanya opini," tegasnya.
"Namun, harus dipastikan karena ditemukannya alat bukti, yang proses mendapatkannya pun harus sesuai ketentuan," sambung Ali.