JAKARTA - PT Kereta Api Indonesia (KAI) akan membongkar paksa lokalisasi prostitusi dan perjudian kawasan Gunung Antang, Jakarta Timur pada Selasa 30 Agustus pekan depan.
Tanggal tersebut merupakan batas akhir surat SP-3 yang telah dilayangkan kepada penghuni bangunan liar di Gunung Antang.
Nantinya setelah dilakukan pembongkaran, kawasan tersebut akan dijadikan Ruang Terbuka Hijau (RTH) oleh PT KAI selaku pemilik lahan.
"Kita mengajukan surat ke Pemkot untuk dapat membantu membuat ruang terbuka hijau (RTH)," kata Kepala Humas PT KAI Daop 1 Jakarta, Eva Chairunisa, Jumat, 26 Agustus.
Diketahui, Surat Peringatan ke 3 atau SP-3 terkait pembongkaran lokalisasi prostitusi dan perjudian di kawasan Gunung Antang, Jakarta Timur, baru dikeluarkan PT Kereta Api Indonesia (KAI) pada Kamis, 25 Agustus.
Keluarnya SP-3 ini merupakan peringatan terakhir bagi para penghuni gubuk liar di kawasan Gunung Antang.
"(hari ini) Belum (pembongkaran). Kamis 25 Agustus baru akan dikeluarkan SP-3," kata Kepala Humas PT KAI Daop 1 Jakarta, Eva Chairunisa saat dikonfirmasi VOI, Kamis, 25 Agustus.
Terbitnya SP-3 akan berlaku lima hari ke depan, terhitung sejak Kamis, 25 Agustus. Ketika hari terakhir setelah keluar SP-3, petugas gabungan dari PT KAI dan Muspiko Jaktim segera lakukan pembongkaran paksa.
"Rencana penertiban terpadu pada tanggal 30 Agustus 2022. SP-3 berlaku sampai 5 hari kedepan," jelasnya.
BACA JUGA:
Sementara itu, sejumlah warga RW 01 Kelurahan Rawa Bunga mendesak PT KAI segera melakukan eksekusi pembongkaran terhadap bangunan liar di lokalisasi prostitusi dan perjudian Gunung Antang, Jakarta Timur.
Desakan itu menyusul belum adanya tindakan tegas dari PT KAI selaku pemilik lahan.
Ketua RW 01 Kelurahan Rawa Bunga, Dwi Lestari menyatakan, rencana pembongkaran lokalisasi Gunung Antang sudah bergulir lebih dari 1 bulan.
Seharusnya PT KAI dan Pemkot Jakarta Timur menurutnya sudah bukan lagi melakukan tahap koordinasi, namun pelaksanaan eksekusi pembongkaran.
Apalagi, sambung Dwi, wilayahnya kerap mendapat gangguan Kamtibmas dari para penghuni lokalisasi Gunung Antang yang pernah melakukan penyerangan ke warga RW 01, Kelurahan Rawa Bunga.
Seperti aksi penyerangan yang pernah terjadi terhadap warga Jalan Kemuning, Bendungan, RT 05/01, Kelurahan Rawa Bunga, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur pada Minggu, 12 Juni, lalu.
Akibat aksi penyerangan oleh kelompok terduga preman itu, empat orang warga Jalan Kemuning, Bendungan, RW 01, terluka menjadi korban penyerangan menggunakan senjata tajam. Dua orang warga diantaranya dibacok oleh pelaku.
"Ini sudah 2 bulan kejadian. Seharusnya bukan hanya akan berkoordinasi ya, tapi sudah waktunya eksekusi (bongkar) bangunan liar di Gunung Antang. Karena kasus ini sudah beberapa kali dirapatkan, bahkan sampai ke tingkat kota," papar Dwi saat dikonfirmasi VOI, Kamis, 4 Agustus.
BACA JUGA:
Dwi pun mempertanyakan kendala yang terjadi sehingga penertiban tak kunjung dilakukan PT KAI.
"Mau tunggu apa lagi?, mau tunggu berapa korban lagi?. Karena sudah berpuluh-puluh tahun bukan hanya RW 01 Rawa Bunga saja yang menjadi korban dari pencurian, pemukulan dan penganiayaan dari Gunung Antang tapi wilayah lain pun sudah pernah," keluhnya.
Keluhan keberadaan lokalisasi prostitusi Gunung Antang juga dilontarkan Ketua RW 09 Kelurahan Palmeriam, Sutrisno.
Belum terlaksana pembongkaran lahan prostitusi Gunung Antang yang dilakukan Satpol PP, PT KAI dan Pemkot Jakarta Timur menimbulkan pertanyaan besar dari masyarakat sekitar.
Warga menduga adanya banyak kepentingan tertentu dari instansi terkait soal keberadaan lokalisasi prostitusi fenomenal di kawasan Jakarta Timur itu.
"Dari pihak PT KAI dan Pemda juga enggak punya ketegasan ya, kalau bongkar ya bongkar gitu, orang awam tuh jadi enggak tanda tanya, ini apa sih maksudnya?" kata Ketua RW 09 Kelurahan Palmeriam, Sutrisno saat dikonfirmasi wartawan, Selasa, 26 Juli.
Pengurus RW 09 Kelurahan Palmeriam meminta PT KAI selaku pemilik lahan untuk lebih tegas dalam menertibkan lokalisasi Gunung Antang, Matraman, Jakarta Timur.
Sutrisno mengatakan, sikap tegas sangat penting agar rencana penertiban itu tak dipandang sebagai sesuatu yang biasa saja atau bersifat formalitas belaka.