Koalisi Sipil Bersama 3 Ibu dengan Anak Lumpuh Otak Gugat UU Narkotika ke MK terkait Terapi Ganja
Gedung Mahkamanh Konstitusi (MK). DOK. ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil bersama 3 ibu dari anak-anak dengan cerebral palsy yakni penyakit lumpuh otak mengajukan permohonan uji materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Pemohon berdalil, pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan sebagaimana disebutkkan pada Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika, bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan yakni Pasal 28H ayat 1 dan memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada Pasal 26C ayat 1.

Para pemohon perseorangan terdiri dari tiga orang ibu yang masing-masing anaknya didiagnosa dengan Cerebral Palsy. Salah satu anak tersebut sempat membaik kondisi kesehatannya setelah mendapatkan terapi ganja dengan sistem pengasapan (bakar dupa) dan pemberian minyak ganja (Cannabis/CBD Oil) di Australia. Namun ketika berada di Indonesia, pengobatan tersebut menjadi tidak dapat dilanjutkan. 

“Adanya larangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi penghalang bagi mereka untuk mendapatkan pengobatan sehingga kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak-anaknya yang didiagnosa dengan Cerebral Palsy tidak dapat diperbaiki/ditingkatkan hingga taraf semaksimal mungkin yang dapat dijangkau,” demikian keterangan tertulis Koalisi Masyarakat Sipil ‘Advokasi Narkotika untuk Pelayanan Kesehatan’, Jumat, 20 November.

Selain pemohon perseorangan tersebut, beberapa lembaga non-pemerintah juga bergabung sebagai para pemohon dalam uji materi ini yakni ICJR, LBH Masyarakat, dan Rumah Cemara yang selama ini banyak menyoroti masalah pengaturan dan penegakan UU Narkotika. 

Menurut koalisi, pasal-pasal karet dalam UU Narkotika yang perumusannya sangat luas dan multitafsir digunakan aparat penegak hukum untuk juga menyasar orang-orang yang menggunakan narkotika meskipun dengan tujuan pengobatan. 

Contohnya, kasus Fidelis pada 2017 di Sanggau serta kasus terbaru yang sempat muncul yakni kasus Reyndhart Rossy N. Siahaan pada Mei 2020. Padahal dalam UU Narkotika khususnya Pasal 4 huruf a, sambung koalisi, sudah ditekankan tujuan pembuatan undang-undang ini adalah untuk menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan juga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

“Para pemohon meminta MK agar mencabut Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika dan menyatakan pelarangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan bertentangan dengan Konstitusi. Selain itu juga meminta Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika untuk diubah dengan mencabut defenisi Narkotika Golongan I menjadi dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan/terapi, dengan tetap menyebutkan potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan,” papar koalisi.

Koalisi menyebut kebijakan narkotika sudah saatnya dievaluasi dan diarahkan untuk lebih memperhatikan aspek kesehatan masyarakat dan diambil berbasiskan bukti ilmiah (evidence-based policy). 

“Ketentuan pelarangan penggunaan semua jenis narkotika termasuk Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan dalam UU Narkotika ini perlu dihapuskan supaya dapat memfasilitasi dan mendorong adanya penelitian-penelitian klinis yang berorientasi untuk menggali pemanfaatan narkotika di Indonesia,” sambung koalisi.