JAKARTA - Komisi Narkotika PBB sepakat menghapus tanaman ganja dan getah ganja dari Golongan IV Konvensi Tunggal Narkotia 1961 yang dianggap paling bahaya. Hal ini membawa asa bagi kalangan aktivis penggiat pemanfaatan ganja medis untuk mendorong perubahan peraturan narkotika di Indonesia.
Sebelumnya, ganja dan turunannya ditempatkan pada golongan I dan golongan IV. Seperti diketahui, narkotika golongan IV dianggap paling berbahaya. Karenanya, narkotika pada golongan ini termasuk ganja dikontrol paling ketat jika dibandingkan dengan narkotika golongan I sampai III.
Kemudian berdasarkan usulan World Health Organization (WHO), Komisi Narkotika PBB sepakat untuk menghapus ganja dari daftar narkoba paling berbahaya dan tak ada manfaat medisnya tersebut. Namun, PBB tetap melarang penggunaan ganja untuk rekreasi.
Dengan dikeluarkannya ganja dan getahnya dari Golongan IV, sebagaimana dijelaskan dalam uraian rekomendasi WHO, ganja tidak lagi dipersamakan dengan heroin atau opioid yang memiliki ancaman resiko tertinggi hingga menyebabkan kematian.
Bahkan sebaliknya, manfaat kesehatan yang dapat diperoleh dari tanaman ganja semakin diakui. Hal itu sudah banyak dibuktikan oleh hasil penelitian dan praktik-praktik pengobatan ganja medis di berbagai negara, baik dalam bentuk terapi, pengobatan gejala epilepsi, dan penyakit lainnya.
Mendorong ganja medis
Keputusan bersejarah PBB ini menurut Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan, berpengaruh besar terhadap posisi ganja dalam kebijakan narkotika secara internasional. Sehingga tidak lagi menjadi penghalang untuk perkembangan ilmu pengetahuan maupun untuk pemanfaatannya dalam dunia medis. Untuk itu merka menyerukan agar pemerintah Indonesia juga mulai terbuka dengan potensi pemanfaatan ganja medis dalam negeri.
"Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan menyerukan agar Pemerintah Indonesia juga mulai terbuka dengan potensi pemanfaatan ganja medis di dalam negeri. Sebagai langkah konkrit, Pemerintah perlu menindaklanjutinya dengan menerbitkan regulasi yang memungkinkan ganja digunakan untuk kepentingan medis," bunyi pernyataan Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan yang diperoleh VOI.
BACA JUGA:
Koalisi yang terdiri dari Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, EJA, dan LGN ini memang sudah lama menyuarakan potensi pemanfaatan ganja untuk medis. Yang terbaru, mereka juga mendampingi tiga orang ibu dari anak-anak yang mengalami cerebral palsy yang mengajukan permohonan uji materil terhadap UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi yang melarang penggunaan Narkotika Golongan I untuk kepentingan kesehatan.
Kesempatan ini menurut para penggiat, harus dijadikan momentum pemerintah Indonesia untuk merombak kebijakan narkotikanya. "Hasil voting PBB tersebut, sudah bisa dijadikan legitimasi medis yang harus diikuti negara-negara anggotanya termasuk Indonesia yang selalu merujuk pada ketentuan Konvensi Tunggal Narkotika 1961," tutupnya.