Tentang Konvensi Tunggal PBB 1961 dan Pengaruhnya terhadap Regulasi Ganja Indonesia
Ilustrasi foto tanaman ganja (Felix Dufour/Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menghapus ganja dari daftar obat paling berbahaya di dunia. Dengan begitu, hasil konvensi PBB tahun 1961 tentang bahaya ganja tak lagi berlaku. Bagaimana ketetapan konvensi PBB memengaruhi hukum terhadap ganja dunia, termasuk Indonesia, selama puluhan tahun?

Melansir CNN, Kamis, 3 Desember, Komisi Narkotika PBB menyetujui rekomendasi World Health Organization (WHO) untuk menghapus ganja dan resin ganja dari Agenda IV di bawah Konvensi Tunggal 1961 tentang Narkotika. Penunjukan ganja di bawah Agenda IV menempatkan ganja dan salah satu turunannya dalam kategori yang sama dengan heroin dan opioid lainnya.

Ganja bukan hanya dipandang "sangat adiktif dan sangat bertanggung jawab atas kejahatan." Konvensi itu juga melabeli ganja sebagai tanaman "sangat berbahaya yang nilai medis atau terapeutiknya sangat terbatas." Pemungutan suara yang diselenggarakan pada Rabu, 2 Desember memutuskan ganja dan resinnya tak lagi diklasifikasi sebagai zat paling berbahaya. Pemungutan suara juga mengakui manfaat medis dari ganja.

Suara yang terkumpul sebanyak 27-25 suara untuk mengatur ulang status ganja dan resin ganja. Amerika Serikat (AS), Inggris Raya, Jerman, dan Afrika Selatan termasuk di antara mereka yang memberikan suara mendukung. Sementara negara-negara seperti Brasil, China, Rusia, dan Pakistan memberikan suara menentang.

Langkah ini sebagian besar bersifat simbolis dan mungkin tidak berdampak langsung pada cara pemerintah banyak negara mengontrol narkotika. Tapi bisa memberi dorongan pada upaya legalisasi ganja medis di negara-negara yang meminta panduan PBB.

Konvensi PBB dan UU Narkotika Indonesia

Konvensi PBB 1961 memberi pengaruh besar pada bagaimana negara dunia mengatur regulasi soal tanaman ganja. Di Indonesia, Konvensi PBB 1961 diadopsi ke dalam Undang-Undang (UU) Nomor 35 Tahun 2009.

Lewat konvensi itu, PBB menetapkan sebuah produk hukum yang wajib diratifikasi oleh Indonesia dan negara-negara anggota PBB lainnya. Bagi Indonesia, ratifikasi itu otomatis mencabut hukum kolonial Verdoovende Middelen Ordonnantie, digantikan dengan UU 9/1976.

Sejak itu, pemidanaan terhadap pengguna narkoba dimulai. Ganjarannya tak main-main. Dari penjara hingga tiket ke alam baka. Setelahnya, Indonesia kembali mengubah hukum nasional tentang narkotika. Acuannya sama: konvensi PBB.

Perubahan pertama adalah pengesahan konvensi PBB tentang Psikotropika tahun 1971. Ratifikasi itu diadopsi ke dalam pemberlakuan UU 5/1997 tentang Psikotropika. Selanjutnya, berbekal hasil konvensi PBB tahun 1988 tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotik dan Psikotropika, Indonesia melakukan perubahan terhadap UU 5/1997 menjadi UU 22/1997 tentang Narkotika. 

Terakhir, Indonesia mengubah UU 22/1997 ke dalam UU 35/2009 tentang Narkotika. Perubahan terakhir inilah --notabene masih berhaluan pada konvensi PBB 1988-- yang jadi landasan hukum pemberantasan narkotika hingga hari ini. Selain itu, perubahan tersebut juga menetapkan Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai lembaga negara yang khusus menangani pemberantasan penyalahgunaan narkotika. Pemberatan hukuman juga diberlakukan berdasar UU ini.

Lupakan Konvensi PBB

Keputusan bersejarah PBB ini menurut Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan, berpengaruh besar terhadap posisi ganja dalam kebijakan narkotika secara internasional. Sehingga tidak lagi menjadi penghalang untuk perkembangan ilmu pengetahuan maupun untuk pemanfaatannya dalam dunia medis. Untuk itu merka menyerukan agar pemerintah Indonesia juga mulai terbuka dengan potensi pemanfaatan ganja medis dalam negeri.

"Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan menyerukan agar Pemerintah Indonesia juga mulai terbuka dengan potensi pemanfaatan ganja medis di dalam negeri. Sebagai langkah konkrit, Pemerintah perlu menindaklanjutinya dengan menerbitkan regulasi yang memungkinkan ganja digunakan untuk kepentingan medis," bunyi pernyataan Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan yang diperoleh VOI.

Koalisi yang terdiri dari Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, EJA, dan LGN ini memang sudah lama menyuarakan potensi pemanfaatan ganja untuk medis. Yang terbaru, mereka juga mendampingi tiga orang ibu dari anak-anak yang mengalami cerebral palsy yang mengajukan permohonan uji materil terhadap UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi yang melarang penggunaan Narkotika Golongan I untuk kepentingan kesehatan.

Kesempatan ini menurut para penggiat, harus dijadikan momentum pemerintah Indonesia untuk merombak kebijakan narkotikanya. "Hasil voting PBB tersebut, sudah bisa dijadikan legitimasi medis yang harus diikuti negara-negara anggotanya termasuk Indonesia yang selalu merujuk pada ketentuan Konvensi Tunggal Narkotika 1961," tutupnya.