Ganja dan Agama
Foto dan ilustrasi (Pixabay, Ilham Amin/VOI)

Bagikan:

Kita telah mendapat gambaran soal siapa yang diuntungkan dari ilegalisasi ganja lewat artikel "Mereka yang Diuntungkan dari Ilegalnya Ganja". Lanjutan dari Tulisan Seri khas VOI, "Jangan Panik Ini Organik". Kali ini kita akan membahas ganja dalam sudut pandang agama, termasuk bagaimana tanaman lima jari digunakan untuk ritual keagamaan.

“Glory be to the father and to the maker of creation. As it was in the beginning is now and ever shall be world without end.”

Bagi para penganut rastafari, sebuah aliran kepercayaan (agama) yang berkembang di masyarakat Jamaika, rapalan doa di atas selalu dibaca tepat sebelum mereka larut dalam aktivitas mengisap ganja. Oleh mereka, ritual mengisap ganja bukan sekadar tradisi, tapi menjadi bagian ibadah yang bahkan tertulis dalam kitab suci umat rastafari dunia bernama Holy Piby.

Rasta, atau Gerakan Rastafari, adalah sebuah gerakan agama baru yang mengakui Haile Selassie I, bekas kaisar Ethiopia, sebagai Raja Diraja, Tuan dari segala Tuan dan Singa Yehuda sebagai Yah, dan bagian dari Tritunggal Kudus. Tak cuma, di Jamaika saja. Aliran kepercayaan lainnya pun begitu. Daratan Asia, misalnya. Pengaruh ganja sebagai pelengkap ritual ibadah sudah ada semenjak beribu-ribu tahun.

Karnaval umat Rastafari (Commons Wikimedia)

Dikutip dari hasil riset Lingkar Ganja Nusantara (LGN) yang dituangkan dalam buku berjudul Hikayat Pohon Ganja (2011), dijelaskan bahwa ganja sudah menjadi bagian dari segenap masyarakat India maupun Jepang. Prihal India, negara yang dihuni oleh mayoritas masyarakat penganut Hindu itu telah sejak dulu menjadikan tanaman ganja sebagai pelengkap ibadah.

Hal itu bisa dilihat dari ibadah harian mereka pada sore hari yang seringkali diiringi oleh aktivitas mengisap ganja. Saking seringnya, tak jarang pula pengikutnya melemparkan batang ganja ke api agar asap yang dihasilkan kemudian mengusir musuh sekaligus kekuatan jahat. Buktinya bisa dilhat pada kitab Weda.

Kitab tersebut tak luput menyebut ganja sebagai sumber kebahagiaan, pemberi kesenangan, dan pembebas. Hal itu juga diperkuat dengan teks kuno Rajawalabha yang mengungkap bahwa “Dewa mengirimkan tanaman ganja karena kasihnya kepada umat manusia agar dapat mencapai kesenangan, menghilang rasa takut, dan memiliki gairah seksual,” tertulis dalam Hikayat Pohon Ganja.

Hampir serupa dengan India. Secara spiritual, ganja juga membudaya di Jepang lewat perpanjangan tangan aliran yang banyak dianut masyarakat di Negeri Matahari Terbit, Shinto. Bagi penganut Shinto, semua yang ada di alam, dari batu, tanaman, atau hewan, semuanya memiliki roh bersifat jahat dan baik. Hitam dan putih.

Kebetulannya lagi, tanaman berjuluk pohon kehidupan tergolong dalam klasifikasi tanaman baik. Sehingga, wajar ganja menjadi aspek penting yang menggambarkan kesucian dan kesuburan bagi masyarakat Jepang. Karenanya, segala bentuk ritual yang melibatkan ganja biasa bertempat di kuil yang menjadi tempat di mana Dewa Matahari atau yang biasa dikenal dengan Amaterasu Omikami bernaung.

Doa-doa khusus yang dipanjatkan untuk Dewa Matahari disebut sebagai taima, yang berarti ganja. Tambah menarik, karena di kuil itu pula tanaman ganja, bersama garam dan padi, digunakan sepanjang ritual doa. “Dan pada ritual-ritual penyucian di kuil, para pendeta Shinto menggunakan tongkat pendek yang disambungkan dengan batang tanaman ganja yang disebut gobei untuk mengusir mahluk jahat,” tertulis.

Di Indonesia

Di Indonesia, sudut pandang agama jadi salah satu faktor yang paling memengaruhi upaya pemanfaatan ganja. Daun lima jari dinilai haram karena memabukan, sebagaimana khmer (minuman keras). Pandangan ini tentu layak dihormati. Namun, ada sudut pandang lain yang dapat dilihat dari perkara ini. Di Aceh, misalnya.

Di wilayah yang kental mengadopsi tatanan syariat, ganja telah dimanfaatkan secara turun-temurun. Secara sejarah, masyarakat Aceh di abad ke-16 dan 17 berpedoman pada kitab Tajul Muluk atau kitab Mujarobat yang isinya memuat substansi tentang pemanfaatan ganja secara medis. Budayawan Aceh, Tungang Iskandar yang lahir dan besar di Aceh membenarkan hal itu. Menurutnya, pemanfaatan ganja bahkan sudah dimulai secara turun terumurun diwariskan oleh nenek moyang orang Aceh.

“Saya pikir itu (pemanfaatan ganja) sudah bukan rahasia lagi. Bahwa dalam praktiknya, Orang Aceh memang sudah sejak lama menggunakannya. Dalam masakan misalnya, biji ganja memang sering dipakai dalam kuah, tidak terkecuali dalam kuah-kuah yang dimasak untuk ritual-ritual khusus yang mana pada setiap masak besar laki-laki menjadi juru masaknya,” ucapnya saat dihubungi VOI pada 17 Februari lalu.

“Ganja itu kan haram karena penyalahgunaannya. Berarti kalau dibenargunakan kan bisa lain ceritanya. Islam itu kan segalanya untuk kebaikan. Nah, mari kita kaji dan bersikap untuk segala sesuatu persoalan yang masih abu-abu, yaitu dengan mendukung segala sesuatu yang mmg banyak manfaatnya dan menolak sesuatu yang mmg banyak buruknya,” tambahnya.

Ilustrasi foto (Pixabay)

Lebih lanjut, dikutip dari Jurnal Halal MUI 112, hukum ganja bisa dilihat dari bagaimana menggunakannya. Tidak ada ketetapan atau larangan penggunaan daun ganja (Cannabis sativa syn., Cannabis indica). Namun, ada catatan, bahwa konsumsi ganja tak boleh berlebihan. Secara prinsip, semuanya kembali ke kaidah dalam Islam, bahwa semua yang berlebihan dan membahayakan itu tak baik.  

“...Makan dan minumlah (kalian), tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. 7: 31). 

Selanjutnya, seperti yang dikatakan Tungang, bahwa bila disalahgunakan, hukum penggunaan ganja menjadi terlarang. Contohnya adalah ketika ganja dijadikan lintingan, lalu dibakar dan diisap seperti rokok. Hal tersebut juga merupakan bentuk dari penyalahgunaan karena menimbulkan efek memabukkan dan membahayakan.

Dalam hukum Islam sangat jelas kaidahnya; “Laa dhoror walaa dhiror” (tidak boleh menimbulkan atau menyebabkan bahaya bagi diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain). Selain itu, jurnal ini juga memuat kaidah lain: Adh-dhororu yuzal (bahaya itu harus dihilangkan).

Bisa disimpulkan juga bahwa beda penggunaan, maka akan berbeda pula dampaknya. Dengan demikian, berbeda pula ketetapan hukumnya.  Berbanding lurus dengan pernyataan peneliti dari el-Bukhari Insitute Khoirul Huda. Ganja sendiri sebenarnya tidak pernah disebutkan rinci di Alquran maupun sunah. Namun ganja masuk dalam hukum yang disebut ijtihadiyah, yaitu sesuatu yang dianggap mirip dengan yang tercantum di Alquran dan sunnah.

Dalam konteks ganja, para ahli hukum Islam mencoba menganalogikan ganja paling identik dengan khmer, yang mana bersifat memabukan. "Menurut yang saya baca, ahli-ahli hukum Islam kontemporer itu banyak yang mengharamkan ya. Saya juga bahkan belum menemukan (ganja) ada yang menilai halal," jelas Khoirul Huda, saat dihubungi VOI, Jumat 21 Februari. 

Meski demikian, ada sebuah kondisi di mana sesuatu yang ditetapkan haram bisa menjadi boleh. Namun tentunya diperbolehkan jika dalam kondisi tertentu atau biasa disebut kondisi darurat, meski masih dalam kadar yang secukupnya saja. "Ada kaidah hukum yang mengatakan; keadaan sesuatu yang tadinya dilarang, haram, jadi boleh. Tapi kebolehan ini terbatas selama kondisi darurat itu ada atau ada kebutuhan yang sangat mendesak," tambah Khoirul Huda. 

Dari segala pandangan, ada satu hal yang amat jelas, bahwa tak ada larangan untuk meneliti manfaat ganja. Artinya, seharusnya tak ada alasan bagi pemerintah untuk setidaknya membuka peluang untuk meneliti ganja. "Kalau konteks penelitian kan objek hukumnya penelitiannya, kalau ini jelas berbeda. Kalau penelitian boleh saja asal benar, melakukan riset ilmiah kan mubah," tukas Khoirul Huda.

Ikuti Tulisan Seri edisi ini: Jangan Panik Ini Organik