Bagikan:

JAKARTA - Ganja medis menjadi perbincangan setelah viralnya seorang ibu yang membawa poster meminta tolong agar bisa mendapatkan ganja medis untuk anaknya di kegiatan Car Free Day (CFD) di Bundaran HI, Jakarta Pusat, Minggu, 26 Juni. 

Aksinya ini juga diunggah dalam postingan beberapa akun media sosial, salah satunya Dwi Pertiwi. Dia adalah ibu dari almarhum Musa, anak pemohon uji materi larangan ganja untuk medis, yang meninggal di usia 16 tahun, pada Desember 2020 usai berjuang melawan cerebral palsy.

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Charles Honoris menilai Indonesia sudah perlu mulai kajian terkait manfaat ganja bagi medis. Hal itu untuk melegitimasi penggunaan Ganjar secara ilmiah. 

"Indonesia harus sudah memulai kajian tentang manfaat tanaman ganja (Cannabis sativa) untuk kepentingan medis. Kajian medis yang obyektif ini akan menjadi legitimasi ilmiah, apakah program ganja medis perlu dilakukan di Indonesia," ujar Charles Honoris kepada wartawan, Selasa, 28 Juni. 

Charles menjelaskan, pada akhir 2020 Komisi Narkotika PBB (CND) sudah mengeluarkan ganja dan resin ganja dari Golongan IV Konvensi Tunggal tentang Narkotika tahun 1961. Artinya, ganja sudah dihapus dari daftar narkoba paling berbahaya yang tidak memiliki manfaat medis. 

"Sebaliknya, keputusan PBB ini menjadi pendorong banyak negara untuk mengkaji kembali kebijakan negaranya tentang penggunaan tanaman ganja bagi pengobatan medis," jelasnya.

Charles mengungkapkan, saat ini telah lebih dari 50 negara yang memiliki program ganja medis termasuk Malaysia dan Thailand. Karenanya, dia menilai, saat ini riset perlu dilakukan meski belum diketahui akan ada atau tidaknya program ganja medis di Indonesia.

"Terlepas Indonesia akan melakukan program ganja medis atau tidak nantinya, riset adalah hal yang wajib dan sangat penting dilakukan untuk kemudian menjadi landasan bagi pengambilan kebijakan/penyusunan regulasi selanjutnya," katanya.

Politikus PDIP itu mengatakan riset tersebut semata untuk kepentingan kemanusiaan yang dinilai penting untuk dunia kesehatan. Dia berharap tidak ada korban lain yang membutuhkan Ganjar medis.

"Riset medis harus terus berkembang dan dinamis demi tujuan kemanusiaan. Demi menyelamatkan kehidupan Pika, dan anak penderita radang otak lain, yang diyakini sang ibunda bisa diobati dengan ganja. Negara tidak boleh tinggal berpangku tangan melihat 'Pika-Pika' lain yang menunggu pemenuhan hak atas kesehatannya," pungkasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pihaknya akan segera mengkaji wacana legalisasi ganja untuk medis. Sebab, kata Dasco, meski ganja sudah bisa digunakan untuk pengobatan medis di beberapa negara, namun di Indonesia masih belum diatur dalam undang-undang.

"Nanti kami akan coba buat kajiannya apakah itu kemudian dimungkinkan untuk ganja sebagai salah satu obat medis yang memang bisa dipergunakan," ujar Dasco di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 26 Juni. 

DPR, tambah Dasco, juga akan berkoordinasi dengan berbagai pihak termasuk Kementerian Kesehatan untuk membahas hal itu dengan Komisi IX DPR. 

"Nanti kami coba koordinasikan dengan komisi teknis dan juga Kemenkes, agar DPR bisa kemudian menyikapi hal itu," katanya.