Bagikan:

JAKARTA - Iran memiliki sarana teknis untuk membuat bom nuklir tetapi tidak berniat melakukannya, kata kepala energi atom negara itu Mohammad Eslami, Senin.

Komentar dari Eslami, dilaporkan oleh kantor berita negara Fars, adalah pernyataan kedua yang dibuat oleh seorang pejabat senior Iran dalam beberapa pekan terakhir tentang bom nuklir.

Kamal Kharrazi, penasihat senior untuk pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, membuat pernyataan serupa pada Bulan Juli, melansir The National News 1 Agustus.

Namun, komentarnya dipandang sebagai saran negara tersebut mungkin tertarik untuk membuat senjata menggunakan uranium yang diperkaya, meskipun ada fatwa tahun 2003 oleh Khamenei yang melarang produksi segala bentuk senjata pemusnah massal.

Meskipun Amerika Serikat, Israel dan negara-negara Timur Tengah lainnya telah menyatakan keprihatinannya tentang pengayaan nuklir Iran untuk tujuan militer, Teheran menyangkal niatnya untuk membuat bom atom.

Namun, Iran sudah memperkaya uranium hingga kemurnian fisil hingga 60 persen, jauh di atas batas 3,67 persen yang ditetapkan di bawah kesepakatan nuklir 2015 yang sekarang compang-camping dengan kekuatan dunia.

Sementara, untuk membuat sebuah bom nuklir, uranium perlu diperkaya hingga mencapai 90 persen.

“Dalam beberapa hari kami dapat memperkaya uranium hingga 60 persen dan kami dapat dengan mudah menghasilkan 90 persen uranium yang diperkaya,” ujar Kamal Kharrazi, seperti mengutip Al Jazeera.

Pada tahun 2018, Donald Trump, presiden AS pada saat itu, keluar pakta nuklir (Kesepakata Nuklir 2015), di mana Iran mengekang pekerjaan pengayaan uraniumnya, jalur potensial menuju senjata nuklir, dengan imbalan bantuan dari sanksi ekonomi internasional.

Iran telah menanggapi proposal diplomat tinggi Uni Eropa Josep Borrell yang bertujuan untuk menyelamatkan perjanjian nuklir, dan mencari kesimpulan cepat untuk negosiasi, kata perunding nuklir utama Teheran pada hari Minggu.

Pada Hari Selasa pekan lalu, Borrell mengatakan dia telah mengusulkan rancangan teks baru untuk menghidupkan kembali kesepakatan itu.

"Setelah bertukar pesan minggu lalu dan meninjau teks yang diusulkan, ada kemungkinan bahwa dalam waktu dekat, kami akan dapat mencapai kesimpulan tentang waktu babak baru negosiasi nuklir," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Nasser Kanaani.

Garis besar kesepakatan yang dihidupkan kembali pada dasarnya disepakati pada Bulan Maret, setelah 11 bulan pembicaraan tidak langsung di Wina antara Teheran dan pemerintahan Presiden AS Joe Biden.

Tetapi, pembicaraan kemudian gagal karena hambatan seperti permintaan Iran bahwa Washington harus memberikan jaminan, tidak ada presiden AS yang akan meninggalkan kesepakatan dengan cara yang sama seperti yang dilakukan Trump.

Sementara, Pemerintahan Presiden Biden mengatakan tidak bisa menjanjikan ini, karena kesepakatan nuklir adalah pemahaman politik yang tidak mengikat, bukan perjanjian yang mengikat secara hukum.