Bagikan:

JAKARTA - Komnas Perempuan meminta pihak kepolisian bergerak cepat dalam menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap lima santriwati di Pesantren Shiddiqiyah Ploso, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

"Kekerasan seksual yang terjadi terhadap santriwati di Jombang menambah jumlah korban kekerasan seksual di institusi pendidikan berbasis agama. Komnas Perempuan mengecam kejadian ini, khususnya proses panjang dan lama proses hukum tidak berjalan dengan lancar," kata Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat Komisi Nasional Perempuan, Veryanto Sitohang, saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat 8 Juli dikutip dari Antara.

Ia mengatakan, polisi harus bertindak cepat agar tidak menimbulkan opini pelaku kekerasan seksual dengan latar belakang tokoh masyarakat bisa lolos dari jerat hukum.

"Hal ini akan membentuk imej seakan-akan tersangka kekerasan seksual mendapatkan impunitas apalagi memiliki latar belakang keluarga dari tokoh atau elit," ujarnya

Komnas Perempuan juga mendesak aparat penegak hukum agar segera melakukan tindakan penegakan hukum sehingga peristiwa serupa tidak terulang dan korban mendapatkan perlindungan.

Polisi juga tidak boleh lalai, abai dan lambat melakukan penegakan hukum sebagai bentuk perlindungan terhadap perempuan dan masyarakat.

Meski demikian dia yakin pihak kepolisian akan memproses kasus kekerasan seksual di secara profesional dan meyakinkan masyarakat bahwa haknya akan dilindungi oleh negara.

"Kami berharap bahwa upaya selanjutnya bisa berjalan dengan baik sehingga masyarakat percaya terhadap institusi penegak hukum," kata Sihotang.

Komnas Perempuan sejak awal telah menerima pengaduan atas kasus ini dan akan mengawal jalannya proses hukum terhadap kasus ini hingga tuntas.

"Komnas perempuan bekerja sesuai mandatnya, mengawal proses penegakan hukum dan terus berkobar dengan lembaga pendamping korban. Kita berharap bahwa korban juga mendapatkan hak-hak nya sebagaimana diatur dalam UU Tindak Pencegahan Kekerasan Seksual," tuturnya.

Kasus itu melibatkan Moch Subchi Azal Tsani (MSAT), alias Mas Bechi, anak kiai M Muchtar Mu’thi pemimpin Ponpes Shiddiqiyyah. MSAT yang bertatus DPO tersangka pencabulan itu telah menyerahkan diri Jumat 8 Juli dini hari.

Mengutip dari situs resminya, Ponpes Shiddiqiyyah dirintis kiai M Muchtar Mu’thi pada 1959. Awalnya sang kiai yang merupakan guru madrasah di Lamongan memutuskan untuk menjadi pengajar ilmu Thoriqoh Shiddiqiyyah di Desa Losari Ploso Jombang.

Keputusan itu diambil Muchtar Mu’thi setelah mendapatkan ilmu Thoriqoh dari gurunya, Syekh Ahmad Syuaib Jamali Al Banteni.

Sejak saat itu, ilmu Thoriqoh yang erat kaitannya dengan Ponpes Shiddiqiyyah meluas. Tersebar ke berbagai pelosok tanah air Indonesia hingga Malaysia.

Ponpes bernama lengkap Pondok Pesantren Majma’al Bahrain Hubbul Wathan Minal Iman Shiddiqiyyah ini, juga telah terdaftar seiring dengan diterbitkannya surat nomor R-1448/I/5.1.1./5/1973 oleh Kejaksaan pada 30 Juni 1973.

Kasus kekerasan seksual di pesantren juga terjadi di Bandung, Jawa Barat, terhadap 13 santriwati. Terdakwa kasus pemerkosaan tersebut, Herry Wiarawan, akhirnya divonis hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung.