COVID-19 Bikin Rugi Lippo Karawaci Membengkak Rp2,34 Triliun
Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Unit bisnis properti milik konglomerat keluarga Riady, PT Lippo Karawaci Tbk mengalami rugi rugi periode berjalan yang dapat diatribusikan ke pemilik entitas induk senilai Rp2,34 triliun. Nilai itu membengkak dari rugi bersih Rp1,72 triliun di periode September 2019.

Hal itu disampaikan emiten berkode LPKR ini pada keterbukaan informasi di laman Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin 2 November. Disebutkan, perusahaan mengenggam kerugian, meski dari sisi pendapatan mengalami peningkatan.

Pendapatan Lippo Karawaci pada periode sembilan bulan pertama 2020 mencapai Rp8,58 triliun. Nilai itu naik tipis 0,24 persen year on year (yoy) dibanding periode yang sama di tahun sebelumhya, Rp8,56 triliun.

Rincian mengape perusaan mengalami kerugian adalah, beban pokok pendapatan LPKR sebesar Rp5,26 triliun, sehingga laba bruto mencapai Rp3,22 triliun, naik dari sebelumnya Rp3,19 triliun.

Namun, karena adanya beban usaha senilai Rp2,97 triliun, LPKR membukukan rugi usaha Rp622,88 miliar per September 2020. Selanjutnya, perusahaan memiliki beban keuangan neto Rp1,17 triliun, beban dari entitas asosiasi Rp 1,18 triliun, dan beban pajak Rp200,53 miliar. Alhasil Lippo Karawaci pun harus menderita kerugian Rp2.34 triliun.

Sebelumnya, Indonesia Property Watch (IPW) menyatakan, pandemi COVID-19 masih menjadi momok utama yang membuat perekonomian terdampak hebat. Menurunnya daya beli terjadi di semua golongan masyarakat.

Indonesia diperkirakan akan memasuki resesi di akhir triwulan 3 tahun 2020. Konstraksi ekonomi sebesar 5,32 persen telah terjadi di triwulan 2 tahun 2020.

Gelombang resesi ini akan sangat membahayakan bila memukul sektor perbankan. Bila sektor finansial dan perbankan mengalami crash artinya kita akan dihadapkan dengan multi dimensi resesi selain krisis kesehatan karena pandemi.

Hal yang harus segera diantisipasi karena saat ini saja restrukturisasi pinjaman di perbankan mencapai Rp857 triliun yang sebagian besar terancam macet bila tidak ada kebijakan relaksasi sampai akhir tahun. Dengan rentetan kekhawatiran tersebut, sektor properti dihadapkan pada kondisi yang tidak menguntungkan.