Pemerintahan Jokowi Dituding Represif, PDIP: Demo yang Merusak Harus Ditindak
ILUSTRASI/Demo di kawasan Patung Kuda, Rabu 28 Oktober (Diah Ayu/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Sejumlah pihak kerap menyebut pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) bersikap represif dan otoriter. Tudingan ini muncul karena banyaknya pedemo dalam aksi menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja yang ditangkap maupun ditindak kepolisian.

Menanggapi tudingan ini, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menegaskan mereka yang ditindak bukanlah murni pedemo atau masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasinya. Menurutnya, pihak yang ditangkap dan diproses hukum adalah mereka yang merusak fasilitas umum hingga menyebarkan berita bohong atau hoaks. 

"PDI Perjuangan menegaskan hak untuk menyuarakan pendapat itu diatur dalam konstitusi. Tetapi demokrasi tidak boleh merusak. Ketika demo sudah merusak fasilitas umum, publik, di situ lah aparat penegak hukum harus bertindak menegaskan hukum di atas segalanya," kata Hasto dalam konferensi secara daring usai menggelar kegiatan partai, Rabu, 28 Oktober

Hasto menegaskan demokrasi di Indonesia memiliki aturan yang seharusnya ditaati semua pihak tanpa terkecuali. Selain itu, demokrasi harusnya mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun perilaku serta moralitas. 

Karena itu, Hasto menilai, tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak keamanan belakangan ini bukanlah tindakan represif yang melanggar etika maupun aturan seperti perilaku rezim otoriter yaitu pemerintah orde baru.

"Kalau represif itu gambarannya sangat jelas, yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru," tegasnya.

Hasto membandingkan era pemerintah orde baru yang kerap melakukan tindakan represif pada rakyatnya. Sedangkan pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin diklaimnya selalu menempatkan dialog.

"Saat ini Pak Jokowi-Ma'ruf Amin itu adalah pemimpin yang terus membangun dialog, aspirasi dari masyarakat diterima. Dan demikian pula dengan PDI Perjuangan," katanya.

Sebelumnya, berdasarkan hasil survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada Minggu, 25 Oktober menyatakan, sebanyak 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut menyatakan pendapat dan 57,7 persen responden menganggap aparat makin semena-mena menangkap mereka yang berbeda pandangan politiknya dengan penguasa. 

Terkait hasil tersebut, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus A.T. Napitupulu mengatakan angka itu harusnya menjadi tamparan buat pemerintah dalam menghadapi demonstrasi dari masyarakat.

"Survei Indikator Politik yang menujukkan terjadi penurunan penilaian terhadap kebebasan sipil di Indonesia dan kecenderungan represifitas aparat harusnya menjadi tamparan bagi pemerintah Indonesia saat ini. Karena terjadi pelanggaran terhadap konsititusi yaitu Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan jaminan penegakan dan perlindungan hak asasi manusia dengan prinsip negara hukum yang demokratis," kata Erasmus seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Rabu, 28 Oktober.

ICJR menyebut, aparat kerap melakukan tindakan represif dan tidak melihat batasan kewenangan mereka yang diatur dalam perundang-undangan. Salah satu buktinya adalah ketika aksi Omnibus Law Cipta Kerja yang terjadi sepanjang Oktober ini.