JAKARTA - Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond J Mahesa mendorong revisi Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika untuk mengatasi besarnya anggaran dikeluarkan pemerintah setiap tahunnya, untuk belanja para warga binaan atau narapidana di Indonesia yang mencapai angka Rp1,8 triliun.
"Dalam UU Narkotika ada 5 poin, misalnya kita bahas tentang rehabilitasi, beban itu dalam undang-undang kalau saya lihat masih pola lama. Rehabilitasi itu kalau masih tidak jelas antara bandar dan pemakai narkoba, putusan akan tetap sama, maka kelebihan kapasitas tidak akan terselesaikan,” kata Desmond di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin 6 Juni.
Hal itu dikatakannya saat memimpin Rapat Kerja (Raker) Komisi III DPR bersama Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin. Raker tersebut membahas rancangan kerja anggaran (RKA) Kemenkumham Tahun 2023.
Desmond menjelaskan, melalui revisi UU Narkotika nantinya akan diatur dengan jelas pihak yang akan bertanggung jawab atas kegiatan rehabilitasi dengan melibatkan pemerintah daerah.
Selain itu menurut dia dengan menetapkan aturan setiap orang yang terbukti sebagai pemakai narkoba, untuk langsung direhabilitasi.
"Lalu masalah rehabilitasi ini tanggung jawab siapa? kalau kita pisahkan antara bandar dan pemakai. Pemakai dikategorikan rehabilitasi, hasil diskusi di Komisi III DPR, bagaimana pemakai itu langsung direhabilitasi tapi penanganannya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, bukan ditanggung Kementerian Hukum dan Ham lagi,” ujarnya.
BACA JUGA:
Desmond meyakini, melalui revisi UU Narkotika, beban negara terkait belanja makan narapidana di Badan Pemasyarakatan (Bapas) Kemenkumham dapat dikurangi dari angka sebelumnya sebesar Rp1,8 triliun.
Hal itu menurut dia karena dalam revisi UU Narkotika akan diatur bahwa penyalah guna narkotika akan langsung di rehabilitasi.
Dalam Raker Komisi III DPR, Menkumham Yasonna Laoly menyampaikan tahun 2023 dianggarkan dana senilai Rp1,8 triliun untuk belanja Bapas Kemenkumham.
Menurut dia, anggaran yang besar tersebut karena kelebihan kapasitas di seluruh lembaga pemasyarakatan yang sebagian besar dihuni narapidana kasus narkotika.