Satu Tahun Jokowi-Ma'ruf: Bertekad Jadikan Migas Bukan Barang Mewah
Presiden RI, Joko Widodo. dan Wapres Ma'ruf Amin. (Foto: Setkab)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah tetap melakukan pembangunan infrastruktur di tengah krisis akibat pandemi COVID-19. Hal ini demi mewujudkan ketahanan energi.

Refocusing dan realokasi anggaran dengan prioritas pada penanganan dampak COVID-19 juga dilakukan. Namun, kebijakan energi berkeadilan tetap menjadi perhatian utama.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, energi berkeadilan harus diwujudkan. Tujuannya, agar setiap masyarakat Indonesia mempunyai akses yang sama terhadap energi. Saat ini, minyak dan gas bumi tidak lagi sekedar komoditi. Namun, migas menjadi lokomotif pembangunan.

Perubahan paradigma ini memacu pertumbuhan industri dalam negeri. Smelter dibangun dan kilang-kilang minyak diperbaharui. Gas bumi bagi industri dalam negeri dan pemanfaatan sumber daya alam baru dan terbarukan dioptimalkan.

Pemerintah menegaskan, mimpi besar keadilan pada akses energi bagi rakyat diwujudkan dengan menjadikan migas bukan barang mewah bagi masyarakat pedalaman dan terisolir. Termasuk, masyarakat berpendapat rendah juga mendapatkan akses yang sama.

"Kita kalah terus, produk-produk kita (kalah bersaing), gara-gara harga gas kita yang mahal," kata Presiden Jokowi, dikutip dari 'Laporan Tahunan 2020', Selasa, 20 Oktober.

Presiden Jokowi mengambil risiko untuk menurunkan harga gas bumi demi meningkatkan daya saing global tujuh kelompok industri. Penurunan harga gas dilakukan dengan mengurangi jatah pemerintah.

"Gas bumi memiliki porsi sangat besar pada struktur biaya produksi. Keputusan menurunkan harga gas langsung berpengaruh pada daya saing produk industri kita di pasar dunia," papar pemerintah.

Pemerintah menjelaskan buaran energi saat ini sudah mencapai 14,95 persen. Kemudian, sebanyak 99,09 persen rumah tangga telah teraliri listrik. Tak hanya itu, 174 SPBU juga telah memberlakukan BBM satu harga.

Selain itu, pemerintah juga melakukan percepatan pembangunan pembangkit berbasis Energi Baru dan Terbarukan (EBT), seperti PLTA, tenaga surya, hingga panas bumi. Pemerintah juga memiliki target di tahun 2025 penggunaan EBT bisa mencapai 23 persen. Angka optimis dibandingkan capaian tahun ini yang kurang dari 15 persen.

Target tersebut sesuai dengan langkah pemerintah yang menetapkan lima sektor prioritas untuk mewujudkan komitmen Indonesia mengurangi emisi karbon sesuai Paris Agreement 2015.

Lima sektor itu adalah kehutanan dan lahan gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri dan limbah, serta adaptasi dampak perubahan iklim.

Sudah lebih dari 3,47 juta hektar lahan gambut dipulihkan. Tutupan lahan di daerah tangkapan air sepanjang DAS Citarum meningkat menjadi 77,3 ribu hektar.

Pada tahun ini, Indonesia mendapatkan komitmen dari dunia internasional sebesar 12,01 juta dolar AS dari Green Climate Fund dan 56 Juta dolar AS dari Pemerintah Norwegia.

"Energi masa depan adalah energi bersih. Tren dunia otomotif mengalami perubahan besar dengan hadirnya kendaraan listrik. Indonesia tidak ingin hanya menjadi konsumen namun, bertekad menjadi pemain utama. Ekosistem pun disiapkan," jelas pemerintah.