Setahun Jokowi-Ma'ruf, Biaya Penanganan Pandemi COVID-19 Capai Rp695,20 Triliun
Presiden Joko Widodo (Foto: Twitter @jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - Pandemi COVID-19 memaksa Indonesia dan juga ratusan negara di dunia jungkir balik mengatasi dampak pandemi yang luar biasa. Data dunia, jutaan orang meninggal, puluhan juta orang terinfeksi. Ekonomi global di ambang resesi. Kondisi ini mendorong pemerintah untuk mengubah alokasi anggaran secara besar-besaran.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 bahkan sudah diubah dua kali dari defisit sebesar 5,07 persen menjadi 6,34 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pemerintah juga menaikkan alokasi anggaran penanganan COVID-19 dari Rp677,2 triliun menjadi Rp695,20 triliun. Peningkatan tersebut terjadi karena adanya kebutuhan korporasi dan daerah yang bertambah di tengah upaya pemulihan COVID-19.

Dari jumlah tersebut, sekitar Rp87,55 triliun difokuskan untuk kesehatan. Sedangkan sisanya dialokasikan untuk menangani perlindungan sosial Rp203,90 triliun, dukungan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) Rp123,46 triliun, dunia usaha Rp120,61 triliun, serta pemerintah daerah (Pemda) Rp106,11 triliun.

"Ganasnya penyebaran COVID-19 memaksa pemerintah mengubah alokasi anggaran secara besar-besaran untuk menangani wabah ini. APBN 2020 yang disusun sebelum pandemi terpaksa direvisi karena tak bisa menjawab kebutuhan darurat penanganan situasi," demikian kata Pemerintah dalam Laporan Tahunan 2020, yang dikutip dari laman KSPI, Selasa, 20 Oktober.

Pemerintah pun menyiapkan payung hukum untuk menghadapi kondisi darurat ini yakni Perpu Nomor 1 Tahun 2020 yang kemudian menjadi UU Nomor 2 tahun 2020 soal Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan COVID-19.

Beleid keuangan ini dianggap dapat memberikan fleksibilitas bagi pemerintah untuk merespons situasi secara extraordinary.

Beleid tersebut juga memberikan relaksasi defisit mengingat kebutuhan belanja negara untuk menangani COVID-19 meningkat pada saat pendapatan negara menurun.

Pemerintah dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja nasional (RAPBN) juga mengalokasikan pos anggaran serupa senilai Rp169,7 triliun mengingat dampak pandemi diduga masih berjalan hingga 2021.

Tak hanya itu, pemerintah juga memutuskan kebijakan relaksasi defisit tetap akan berlanjut pada 2021. Di tengah ancaman ketidakpastian global dan domestik, pemerintah tetap fokus pada upaya penyelamatan dari COVID-19, mempercepat pemulihan ekonomi dan penguatan reformasi.

 

Berbagai Insentif Hadir

Untuk menekan dampak COVID-19, pemerintah juga memberikan berbagai insentif bagi pengusaha kecil dan menengah. Mulai dari pinjaman kredit modal kerja disiapkan sebesar Rp100 triliun bagi 5,3 juta penerima hingga subsidi bunga pinjaman juga diberikan pada 60,66 juta penerima bantuan.

Tak cukup, pemerintah juga memberikan insentif pajak dan penempatan dana pemerintah di perbankan untuk restrukturisasi debitur UMKM senilai Rp123,46 triliun.

Kelonggaran lain juga diberikan berupa pembebasan biaya listrik selama tiga bulan bagi 24 juta pelanggan listrik 450VA, dan diskon 50 persen untuk 7 juta pelanggan 900VA bersubsidi.

"Kelompok-kelompok masyarakat juga mendapat perhatian. Pemerintah siapkan anggaran Rp 26,5 miliar bagi pelaku budaya. Tak lupa, industri media sebagai partner pemerintah diberikan sejumlah insentif," demikian penjelasan pemerintah.

Adapun insentif yang dimaksud yaitu mulai dari pemotongan iuran BPJS hingga 99 persen, penghapusan pajak kertas, serta alokasi dana untuk kampanye sosialisasi penanggulangan COVID-19.