Bagikan:

JAKARTA - Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, Arief Poyuono, menilai kritik politikus PDIP Effendi Simbolon ke Presiden Joko Widodo dan Masinton Pasaribu ke Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terkait penanganan COVID-19 seolah menampar muka sendiri. Sebab, keduanya berasal dari partai pendukung pemerintah.

"Sama saja nampar muka sendiri mereka, karena kan mereka itu partai penguasa, apapun yang dikerjakan Jokowi dan Luhut merupakan penerapan dari misi dan visi dari PDI Perjuangan yang dimasukan dalam janji-janji kampanye Jokowi yang kemudian dilanjutkan dalam program program pemerintahan," ujar Arief, Kamis, 5 Agustus.

"Artinya kalau mereka mengkritik Jokowi dan Luhut sama saja tidak punya komitmen yang kuat pada Jokowi," sambungnya.

Atau juga, lanjut Arief, kritik mereka menandakan sudah mulai pupusnya dukungan PDI Perjuangan kepada pemerintahan Jokowi.

"Kalau demikian saya rasa Jokowi harus siap siap ditinggal PDI Perjuangan. Dan PDI Perjuangan lewat dua kader itu harus bisa meminta partai untuk menarik kadernya dari kabinet Jokowi-Maruf Amin," kata politikus Gerindra itu.

Namun Arief menilai kritik yang disampaikan Masinton bukan lah sembarang kritik. Sebab harus diakui memang penanganan COVID-19 oleh Luhut Pandjaitan juga beluk maksimal.

"Cuma kalau sama PDI Perjuangan Luhut masih mikir untuk ngancam-ngancam atau gertak sambel kali ya. Beda kalau kubu SBY atau oposisi yang mengkritik pasti dia marah besar," katanya.

Sementara, Effendi Simbolon menyalahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tidak mau menerapkan lockdown. Kalau lockdown, kata Arief, dalam hitungan minggu dipastikan Jokowi digulingkan.

"Dan lockdown membutuhkan dana besar untuk bisa menanggung keperluan dan kebutuhan hidup utama masyarakat. Memang punya uang apa negara? Wong hutang aja udah sampai ubun-ubun kok, udah mau tenggelam oleh hutang," sebut Arief.

Sebelumnya, politikus PDIP Effendi Simbolon menyalahkan Presiden Jokowi yang tidak menerapkan lockdown sejak awal pandemi. Dalam hal ini Effendi merespons pernyataan pakar epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono yang menyebut Indonesia sedang menuju jalur jebakan pandemi.

"Pemerintah sejak awal tidak menggunakan rujukan sesuai UU Karantina itu, di mana kita harusnya masuk ke fase lockdown. Tapi kita menggunakan terminologi PSBB sampai PPKM. Mungkin di awal mempertimbangkan dari sisi ketersediaan dukungan dana dan juga masalah ekonomi. Pada akhirnya yang terjadi kan lebih mahal ongkosnya sebenarnya, PSBB itu juga Rp 1.000 triliun lebih ya di tahun 2020 itu," ujar Effendi kepada wartawan, Sabtu, 31 Juli.

"Presiden tidak patuh konstitusi. Kalau dia patuh sejak awal lockdown, konsekuensinya dia belanja kan itu. Sebulan Rp 1 juta saja kali 70 masih Rp 70 triliun. Kali 10 bulan saja masih Rp 700 triliun. Masih di bawah membanjirnya uang yang tidak jelas ke mana larinya. Masih jauh lebih efektif itu daripada vaksin," sambung wakil rakyat dari Dapil DKI III ini.

Selain Effendi, Masinton Pasaribu, yang kini duduk sebagai anggota Komisi VI, menyoroti kinerja para pembantu Jokowi yang bertindak secara seremonial dan cenderung menyepelekan COVID-19. Dia menyoroti salah satu pernyataan Luhut yang sempat menyebut Corona terkendali tapi keesokannya justru terjadi lonjakan kasus.

"Cara berpikir dan bertindak seremoni itu yang sampai saat ini menjadi trademark kebanyakan para pejabat kita. Serta menggampangkan masalah, hari ini bilang terkendali, eh besok lusanya malah terjadi lonjakan kasus COVID secara drastis di Jakarta dan Pulau Jawa," kata Masinton, Senin, 2 Agustus.

Masinton kembali menyinggung Luhut sebagai koordinator penanggulangan COVID-19. Dia berpendapat, selain terlalu reaksioner menanggapi kritik, kondisi Corona di Indonesia melonjak ketika ditangani Luhut.

"Ada Menko yang ditunjuk sebagai koordinator dalam penanggulangan COVID di beberapa provinsi dan mengkoordinir penerapan PPKM, justru hasilnya di beberapa provinsi yang dikoordinir malah terjadi lonjakan dan fasilitas medis untuk perawatan tidak siap. Mengabaikan kerja mitigasi penanggulangan COVID dan terlalu reaksioner menanggapi kritik dan masukan dari masyarakat, ngoceh sendiri tak ada solusi," papar Masinton.