Faisal Basri: UU Cipta Kerja adalah Upaya Sistematik Rezim Buka Celah Korupsi
Ekonom senior Indef, Faisal Basri. (Foto: Kemenkominfo)

Bagikan:

JAKARTA - Ekonom Senior Faisal Basri mengkritik masalah korupsi di Indonesia yang semakin parah. Menurut dia, hadirnya Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja tidak dapat mengatasi permasalahan korupsi, bahkan justru sebaliknya.

Faisal mengatakan, UU sapu jagat ini adalah salah satu cara dari rangkaian langkah pemerintah dalam menciptakan korupsi yang lebih besar.

"Bagi saya ini upaya sistematik dari rezim yang dimulai dari pelemahan KPK, kemudian perubahan Undang-Undang MK, Perppu, lalu RUU energi terbarukan yang karakternya juga hampir sama, melonggarkan atau buat jalan semakin mulus untuk eksploitasi sumber daya alam," katanya, dalam diskusi virtual bertajuk 'UU Cipta Kerja Vs Pemberantasan Korupsi', Kamis, 15 Oktober.

Menurut Faisal, berbagai langkah pemerintah yang mengubah hingga menghadirkan regulasi baru membuat kebebasaan berdemokrasi di Indonesia semakin terganggu. Ditambah lagi dengan konsentrasi kekuasaan yang cenderung disalahgunakan dengan cara represi dan lain-lain.

Lebih lanjut, Faisal mengatakan, kekuasaan yang disalahgunakan itu terlihat jelas dari proses pembuatan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang tidak kredibel. Bahkan, mendapat penolakan dari berbagai pihak, dan menyebabkan serikat buruh melakukan aksi mogok nasional.

"Semua seolah bisa diatur karena kekuatan oposisi lemah. Check and balances kurang karena partisipasi masyarakat kurang dikehendaki. Itu semua yang menyebabkan dengan Omnibus Law ini, potensi korupsi meningkat," jelasnya.

Democracy index Indonesia juga mengalami penurunan. Kata dia, salah satu penyebabnya adalah naiknya tingkat korupsi di Indonesia, yang awalnya di urutan 48 dalam democracy index turun jauh di era Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Padahal, kata dia, di tahun 2016 Indonesia pernah menempati posisi terbaiknya yakni 48 lalu merosot ke 68 di tahun 2017.

"Indonesia di urutan 68 di bawah Malaysia. Saudara kita di Timur Leste jauh lebih baik dari kita. Kita bukan contoh dan benchmark bagi demokrasi. Thailand lebih buruk dari Indonesia, demikian juga Singapura," ujarnya.

Faisal mengatakan, saat ini juga terjadi penurunan political participation atau partisipasi politik dan political culture. Sehingga masyarakat makin malas dalam melihat pemilihan umum (pemilu). Hal ini karena, pesta demokrasi lima tahunan dalam mencari pemimpin negara dianggap tidak membawa perubahan, khususnya dalam hal korupsi.

"Ada masalah yang membuat benih-benih korupsi itu semakin meningkat. Oleh karena itu, kita masih harus waspada, korupsi tidak boleh dilonggarkan. Tapi KPK secara resmi mengatakan titik beratnya bukan pemberantasan korupsi tapi pencegahan korupsi. Semua orang sudah tahu KPK semakin lemah," jelasnya.