JAKARTA - Sekitar seperlima spesies reptil , dari kura-kura Galapagos hingga komodo di Indonesia, dari ular viper badak Afrika Barat hingga gharial India terancam punah, kata para peneliti pada Hari Rabu dalam penilaian status global komprehensif pertama untuk reptil.
Studi ini meneliti 10.196 spesies reptil termasuk kura-kura, buaya, kadal, ular dan tuatara, satu-satunya anggota garis keturunan yang masih hidup yang berusia lebih dari 200 juta tahun.
Mereka menemukan, 21 persen spesies sangat terancam punah, terancam punah atau rentan terhadap kepunahan seperti yang didefinisikan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), otoritas global tentang status spesies. Mereka juga mengidentifikasi 31 spesies yang sudah punah.
Banyak reptil didorong ke tepi jurang, kata para peneliti, oleh faktor-faktor yang sama membahayakan vertebrata darat lainnya di dunia, amfibi, burung dan mamalia, yaitu, penggundulan hutan untuk pertanian, penebangan dan pembangunan, perambahan kota dan perburuan oleh manusia.
Perubahan iklim dan spesies invasif juga menghadirkan ancaman berkelanjutan, tambah mereka.
"Reptil mewakili cabang penting dan beragam dari pohon kehidupan dan memainkan peran integral dalam ekosistem di mana mereka berada," ujar Bruce Young, salah satu pemimpin studi yang diterbitkan dalam jurnal 'Nature', melansir Reuters 28 April.
"Penilaian global ini adalah kunci awal untuk memahami kebutuhan konservasi reptil. Sekarang kami tahu di mana prioritasnya dan apa ancamannya yang perlu kami perbaiki. Tidak ada lagi alasan untuk meninggalkan reptil dari upaya perencanaan dan implementasi konservasi di seluruh dunia, " tambah Young, kepala zoologi dan ilmuwan konservasi senior di NatureServe yang berbasis di Arlington Virginia, sebuah organisasi ilmu keanekaragaman hayati.
Laporan status sebelumnya menemukan sekitar 41 persen spesies amfibi, 25 persen spesies mamalia dan 14 persen spesies burung terancam punah. Penilaian status spesies mempertimbangkan distribusi, kelimpahan, ancaman, dan tren populasi.
Sekitar 27 persen spesies reptil yang terbatas pada habitat hutan ditemukan terancam punah, dibandingkan dengan sekitar 14 persen spesies yang menghuni habitat kering.
"Penghancuran hutan untuk kayu dan untuk mempersiapkan lahan untuk pertanian, termasuk peternakan, tersebar luas. Habitat yang gersang memiliki sumber daya alam yang lebih sedikit dan kurang cocok untuk pertanian, daripada hutan sehingga, hingga saat ini, tidak banyak berubah dibandingkan habitat berhutan," terang Young.
Kendati demikian, sejumlah reptil lainnya diketahui dalam kondisi sebaliknya alias relatif 'aman'. Buaya air asin Australia, reptil terbesar di dunia, terdaftar dalam kategori 'paling tidak mengkhawatirkan' tentang kepunahan. Sementara, sepupu buayanya, gharial, di sisi lain, terancam punah.
Di antara beberapa reptil terkenal lainnya: komodo, kadal terbesar di dunia, terancam punah; king cobra, ular berbisa terpanjang di dunia, rentan; penyu belimbing, penyu terbesar, rentan; iguana laut Galapagos rentan; dan berbagai spesies kura-kura Galapagos berkisar dari yang rentan hingga punah.
Diketahui, beberapa 'titik panas' untuk risiko reptil didokumentasikan. Di Karibia, misalnya, iguana batu Jamaika dan kadal yang disebut galliwasp ekor biru terancam punah.
Di Afrika Barat, bunglon pegunungan Perret terancam punah dan badak viper rentan. Sementara di Madagaskar, bunglon daun Namoroka terancam punah. Di Asia Tenggara, penyu berkepala besar terancam punah.
"Saya telah tinggal di Kosta Rika sejak tahun 1980-an. Seekor ular yang disebut master hutan berkepala hitam, yang memakan mamalia hutan kecil seperti tikus, pernah tersebar luas di hutan hujan dataran rendah di sepanjang lereng Pasifik negara itu," papar Young.
BACA JUGA:
"Deforestasi yang meluas, termasuk konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, telah membuat habitat terfragmentasi sehingga spesies tersebut kini masuk kategori rentan," tandasnya.
Adapun di antara reptil yang paling terancam, kata Young, adalah bunglon kerdil Chapman, kadal kecil yang menghuni hutan hujan dataran rendah di Malawi yang telah dianggap mungkin punah tetapi sekarang telah ditemukan di beberapa bagian hutan.
"Kolaborasi dan komitmen global adalah suatu keharusan jika kita ingin mencegah bencana kepunahan," kata co-leader studi Neil Cox, manajer Unit Penilaian Keanekaragaman Hayati, inisiatif bersama IUCN dan kelompok Conservation International.