Bagikan:

LIMAPAGI - Selain mudik, Idulfitri identik dengan saling berkirim hadiah atau parsel. Tujuan pengiriman biasanya ke sanak saudara, rekan kerja hingga relasi.

Pada dasarnya mengirim parsel sah-sah saja bagi masyarakat umum. Namun terkecuali, bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Parsel atau ada yang menyebutnya hampers, bagi PNS maupun pejabat berkaitan dengan momen Lebaran 2022 dianggap gratifikasi. Imbauan internal di sejumlah lembaga negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) jelas telah mencantumkan poin larangan bagi pekerjanya menerima parsel saat momen Lebaran 2022.

Aturan lain yang mengatur tentang larangan tersebut juga terdapat dalam Pasal 5 huruf k Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin PNS, yakni PNS dilarang menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya.

Termasuk Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terkait pemberian atau menerima masuk kategori gratifikasi.

Dalam Pasal tersebut dijelaskan pemberian gratifikasi dalam arti luas, yaitu meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Di Jawa Barat, aturan tentang larangan menerima parsel terdapat dalam Surat Edaran (SE) Nomor: 73/AR.06.03/Inspt tentang Pencegahan Korupsi dan Pengendalian Gratifikasi terkait Hari Raya di Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat.

SE tersebut menjelaskan PNS dilarang menerima gratifikasi dalam bentuk uang atau bingkisan seperti parsel. Jika terbukti sebagai penerima gratifikasi, ASN tersebut berisiko terkena sanksi etik sampai pidana.

"Pegawai Negeri dan Penyelenggara Negara wajib menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dengan tidak melakukan permintaan, pemberian, dan penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dan tidak memanfaatkan kondisi pandemi Covid-19 atau perayaan hari raya untuk melakukan perbuatan atau tindakan koruptif. Tindakan tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan, bertentangan dengan peraturan/kode etik, dan memiliki risiko sanksi pidana," demikian tertulis dalam poin 2 SE tersebut.

Sedangkan di Jawa Tengah, tepatnya di Semarang, larangan untuk menerima parsel termaktub dalam Surat Edaran Wali Kota Semarang nomor B/1975/061/4/2022. Aturan itu diteken Walikota Semarang Hendrar Prihadi pada tanggal 22 April.

Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto menegaskan, pemberian parsel termasuk salah satu jenis gratifikasi sehingga PNS wajib menolaknya.

"Gratifikasi itu adalah ketika kita menerima sesuatu terkait tugas dan jabatan. Maka pada momen apapun, termasuk momen Idulfitri kita tidak boleh menerima itu," kata Agus dalam keterangan tertulisnya yang diterima VOI, Minggu 1 Mei.

Sanksi PNS atau Pejabat Nekat Terima Parsel

Jika ada ASN tetap nekat menerima parsel Idulfitri dari siapapun yang berhubungan dengan jabatan dan tugasnya, maka dapat dijatuhkan hukuman disiplin berat. Hukuman itu diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Peraturan Pemerintah tentang Disiplin PNS.

Sanksi juga berupa ancaman pidana yang termaktub dalam Pasal 12 B UU Tipikor. Bunyinya sebagai berikut: Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbukti menerima gratifikasi dapat dihukum minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara serta denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

Namun, bagaimana jika PNS atau pejabat dalam satu waktu tidak bisa menolak pemberian parsel yang dialamatkan kepada dirinya?

PNS atau pejabat yang dalam keadaan tertentu tidak dapat menolak parsel Idulfitri dapat melaporkannya ke Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) di instansi masing-masing disertai dokumentasi penyerahaan.

Laporan juga bisa dilayangkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) paling lambat 30 hari kerja sejak parsel diterima. Proses pelaporan tidak sulit, PNS atau pejabat penerima parsel dapat mengakses laman resmi KPK yaitu: https://gratifikasi.kpk.go.id.

Langkah lainnya dapat dengan menghubungi layanan informasi publik KPK pada nomor telepon 198. Mekanisme pelaporan gratifikasi tersebut tercantum dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK).

Meski demikian, mengutip buku Mengenal Gratifikasi yang terbitkan KPK, terdapat sejumlah bentuk penerimaan gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan KPK, yaitu:

1. Pemberian karena hubungan keluarga, sepanjang tidak memiliki konflik kepentingan;

2. Hadiah (tanda kasih) dalam bentuk uang atau barang yang memiliki nilai jual dalam penyelenggaraan pesta pernikahan, kelahiran, baptis, khitanan, potong gigi, atau upacara adat/agama lainnya dengan batasan nilai per pemberi dalam setiap acara paling banyak Rp1.000.000;

3. Pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang dialami oleh penerima gratifikasi paling banyak Rp1.000.000 per pemberian per orang;

4. Pemberian sesama pegawai dalam rangka pisah sambut, promosi jabatan, atau ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang atau tidak berbentuk setara uang paling banyak Rp300.000 per pemberian per orang dengan total pemberian Rp1.000.000 dalam satu tahun dari pemberi yang sama;

5. Pemberian sesama rekan kerja tidak dalam bentuk uang atau tidak berbentuk setara uang (cek, saham, pulsa, dan lain-lain) paling banyak Rp200.000 per pemberian per orang dengan total pemberian Rp1.000.000 dalam satu tahun dari pemberi yang sama;

6. Hidangan atau sajian yang berlaku umum;

7. Prestasi akademis atau non akademis yang diikuti dengan menggunakan biaya sendiri seperti kejuaraan, perlombaan atau kompetisi tidak terkait kedinasan;

8. Keuntungan atau bunga dari penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum;

9. Manfaat bagi seluruh peserta koperasi pegawai berdasarkan keanggotaan koperasi pegawai negeri yang berlaku umum;

10. Seminar kit yang berbentuk seperangkat modul dan alat tulis serta sertifikat yang diperoleh dari kegiatan resmi kedinasan seperti rapat, seminar, workshop, konferensi, pelatihan atau kegiatan lain sejenis yang berlaku umum;

11. Penerimaan hadiah atau tunjangan baik berupa uang atau barang yang ada kaitannya dengan peningkatan prestasi kerja yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau

12. Diperoleh dari kompensasi atas profesi di luar kedinasan, yang tidak terkait dengan tupoksi dari pejabat/pegawai, tidak memiliki konflik kepentingan dan tidak melanggar aturan internal instansi penerima gratifikasi.