JAKARTA - Kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan oknum polisi kembali terjadi di tengah aksi demonstrasi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pers menyebut hal semacam ini memang kerap berulang meski para jurnalis dilindungi dengan Undang-Undang Pers dalam melaksanakan kerja jurnalistik.
Kasus kekerasan ini, menurut Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta, Erick Tanjung juga seringkali tidak menemui titik akhir.
Terbukti, dari empat kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi saat aksi #ReformasiDikorupsi pada Oktober tahun lalu hingga saat ini belum ada yang berakhir di pengadilan.
"Pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 UU Pers); dan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta (Pasal 18 ayat 1). Artinya, anggota kepolisian yang melanggar UU tersebut pun dapat dipidanakan," kata Erick melalui keterangan tertulisnya, Jumat, 9 Oktober.
Terbaru, AJI Jakarta dan LBH Pers juga merilis ada tujuh orang jurnalis yang menjadi korban dari mulai pemukulan hingga penahanan saat melakukan peliputan dalam aksi demo menolak Omnibus Law Cipta Kerja.
Jurnalis CNNIndonesia.com, Tohirin mengaku kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan polisi ketika ia meliput demonstran yang ditangkap kemudian dibogem di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Ketika itu dia tak memotret atau merekam perlakuan itu.
Polisi yang tak percaya kesaksiannya, lantas merampas dan memeriksa galeri ponselnya. Polisi marah ketika melihat foto aparat memiting demonstran. Akibatnya, ponsel yang ia gunakan sebagai alat liputan itu dibanting hingga hancur, maka seluruh data liputannya turut rusak.
“Saya diinterogasi, dimarahi. Beberapa kali kepala saya dipukul, beruntung saya pakai helm,” kata Thohirin, yang mengaku telah menunjukkan kartu pers dan rompi bertuliskan PERS miliknya ke aparat.
Jurnalis Suara.com, Peter Rotti yang meliput di daerah Thamrin juga jadi sasaran polisi. Ia merekam polisi yang diduga mengeroyok demonstran. Selanjutnya, seorang polisi berpakaian sipil serba hitam dan anggota Brimob menghampirinya.
Aparat meminta kamera tersebut, namun Peter menolak lantaran dia jurnalis yang resmi meliput.
Polisi lantas merampas kameranya. Peter kemudian diseret, dipukul, dan ditendang gerombolan polisi itu, hingga tangan dan pelipisnya memar.
“Akhirnya kamera saya dikembalikan, tapi mereka ambil kartu memorinya,” ujar Peter.
Jurnalis dari merahputih.com, Ponco Sulaksono turut jadi sasaran amuk polisi. Dia hilang beberapa jam, sebelum diketahui bahwa ia ditahan di Polda Metro Jaya.
Berikutnya, ada juga Jurnalis Radar Depok, Aldi yang sempat merekam momen Ponco keluar dari mobil tahanan. Aldi kemudian bersitegang dengan polisi, namun dia turut malah turut ditahan.
BACA JUGA:
Selain memukul dan menahan para jurnalis media, polisi juga menangkap pers mahasiswa yang meliput aksi. Mereka adalah anggota Lembaga Pers Mahasiswa Diamma Universitas Prof. Dr. Moestopo Jakarta, Berthy Johnry; anggota Perslima Universitas Pendidikan Indonesia Bandung Syarifah dan Amalia; serta anggota Pers Mahasiswa Gema Politeknik Negeri Jakarta yaitu Ajeng Putri, Dharmajati, dan Muhammad Ahsan.
"AJI Jakarta dan LBH Pers menegaskan penganiayaan oleh polisi serta menghalangi kerja jurnalis merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," tegas Erick.
Erick menyoroti dalih polisi yang menangkapi jurnalis karena kartu pers yang terlalu kecil hingga tak adanya atribut pembeda. Namun, di sisi lain, usulan agar disediakan tanda pembeda antara jurnalis dan demonstran tak pernah dijalankan pihak kepolisian hingga saat ini.
Sehingga, atas kejadian ini, AJI dan LBH Pers meminta agar Polri mengusut tuntas dan meminta Kapolri untuk membebaskan jurnalis dan pers mahasiswa yang ditahan.
Selain itu, dia juga mengimbau pimpinan redaksi untuk turut memberikan pendampingan terhadap jurnalisnya yang ditahan sebagai bentuk pertanggungjawaban serta mengimbau jurnalis untuk berani melaporkan segala intimidasi dan kekerasan yang dilakukan aparat.