Bagikan:

JAKARTA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengatakan peringkat Indonesia terkait kebebasan pers tak ada perubahan. Berdasarkan catatan lembaga internasional, Reporters Without Border (RSF), di ASEAN, Indonesia menempati posisi kedua setelah Malaysia, yaitu di urutan 124 dengan skor 36.77. Mirisnya, kebebasan pers di Indonesia masih kalah dengan Timor Leste yang ada di peringkat 84 dengan skor 29,36.

Tak hanya menjabarkan soal tak adanya perubahan soal kebebasan pers di Indonesia, AJI juga menilai, kekerasan yang dilakukan terhadap jurnalis yang tengah melakukan tugas jurnalistik ini kebanyak dilakukan oleh pihak kepolisian.

Bahkan, Ketua Umum AJI, Abdul Manan mengatakan musuh kebebasan pers di Indonesia pada tahun 2019 adalah aparat kepolisian. Hal ini berkaca dari banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan Korps Bhayangkara itu terhadap wartawan.

"Penyumbang kekerasan terbanyak itu terjadi di demo Mei (21-22 Mei di Depan Gedung Bawaslu) dan demo September (saat aksi demonstrasi di depan Gedung DPR). Dari wartawan-wartawan yang mengalami kekerasan, mereka sedang menjalankan fungsi utamanya sebagai wartawan termasuk merekam polisi melakukan kekerasan," kata Manan dalam diskusi di Kantor AJI, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Senin, 23 Desember.

Dia mengamini jika pihak kepolisian memang punya tugas untuk melakukan pemulihan keamanan. Hanya saja, Manan tak setuju jika pemulihan keamanan ini harus dilakukan lewat cara kekerasan dan yang jadi korban adalah jurnalis.

Bukan hanya itu saja, Manan juga menilai, adanya kekerasan yang dilakukan kepada demonstran dan jurnalis merupakan bentuk pembungkaman yang serius.

"Ini pembungkaman yang serius dan bukan hal baru bagi polisi. Makanya, dengan melihat banyaknya kasus kekerasan oleh polisi pada 2019 ini, kalau boleh disebut, yang jadi musuh kebebasan pers 2019 itu adalah polisi," tegasnya.

Dia juga menilai, kasus kekerasan yang kerap terjadi di tengah pewarta haruslah jadi catatan penting. Sebab, jika terus dibiarkan kekerasan terhadap jurnalis ini bisa terus berulang dan menimbulkan rasa was-was.

"Kita was-was dengan kasus kekerasan yang melibatkan polisi ini karena tidak ada yang ke (jalur) proses hukum," ungkapnya sambil menjelaskan, hal ini berbeda dengan TNI yang saat ini sudah memvonis enam orang anggotanya yang melakukan kekerasan meski hukumannya tak sepadan.

"Ini tidak dilakukan polisi. Ini problemnya, karena dia aparat hukum dia yang menentukan. Di sinilah bias polisi, kalau mereka melakukan kekerasan, mereka tidak serius memprosesnya," imbuh Manan.

Dalam kesempatan itu, AJI juga memaparkan kasus kekerasan yang dialami jurnalis. Pada tahun 2019, jumlah kasus kekerasan kepada jurnalis mencapai 53 kasus yang didominasi dengan kekerasan fisik sebanyak 20 kasus.

Selain itu, ada juga kasus perusakan alat atau data hasil liputan sebanyak 14 kasus, teror sebanyak 6 kasus, pemidanaan dan kriminalisasi sebanyak 5 kasus, dan pelarangan liputan 4 kasus.

 Ketua Umum AJI, Abdul Manan (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Instansi yang mengontrol Polisi

Untuk mencegah terjadinya kekerasan terus menerus pada jurnalis ataupun masyarakat sipil, AJI juga mengusulkan beberapa hal. Pertama, pihak kepolisian harusnya mendapat pendidikan soal konsep hak asasi manusia (HAM) dan diberikan pengertian terkait tak boleh ada pelanggaran hukum saat menjaha ketertiban.

"Ada problem di pendidikan polisi. Polisi kan juga manusia, tapi mereka aparat negara yang punya privilege seperti punya senjata. Karena itu mereka dibatasi oleh undang-undang. Kalau tidak dibatasi, bisa mati semua kita," kata Manan.

Selain soal pemberian pendidikan terkait hak asasi, Manan juga mengusulkan baiknya pihak kepolisian diletakkan di bawah kementerian seperti TNI yang berada di bawah Kementerian Pertahanan. "Sudah saatnya polisi seperti tentara di bawah kementerian supaya ada yang mengontrol," tegasnya.

Hanya saja, kini keputusan berada di tangan Presiden Joko Widodo. Dia mengatakan, publik kini menunggu komitmen Jokowi untuk mengentaskan permasalahan pelanggaran hak pada jurnalis.

"Presiden punya enggak kemauan politik untuk menghargai HAM dan kebebasan pers? Itu salah satu poin ekspektasi tertingginya, walaupun dalam hati kita enggak yakin," tutupnya.