JAKARTA - Sejumlah aksi demonstrasi menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja, termasuk di DKI Jakarta di tengah pandemi COVID-19 disesalkan oleh epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman.
Menurutnya, aksi demonstrasi yang terjadi pada Kamis, 8 Oktober kemarin sangat berbahaya dan berpotensi menjadi lokasi terjadinya penyebaran COVID-19 karena massa yang hadir sangat sulit untuk dikendalikan dan diseleksi karena jumlahnya cukup banyak.
"Situasi demo ini bagaimanapun akan sulit untuk mengendalikan, termasuk menyeleksi dan skrinning karena jumlah massanya yang banyak, tidak terkendali, dan terkoordinasi. Artinya, ada dasarnya demo itu sangat berbahaya dan berpotensi menjadi penyebar kasus COVID-19 karena perilaku yang terjadi saat demo dimulai dari kerumunan yang artinya, mengabaikan jaga jarak juga," kata Dicky saat dihubungi VOI, Jumat, 9 Oktober.
Selain itu, kegiatan lain seperti berbicara keras, bernyanyi, dan berteriak juga makin memperbesar kemungkinan terjadinya penularan di tengah aksi tersebut karena dapat menimbulkan droplet, aerosol, hingga muntahan atau vomit. Belum lagi, jika demonstran dan aparat terkena gas air mata yang kemudian membuat mata perih hingga berair dan mulut mengeluarkan liur.
"Semuanya memperburuk penyebaran virus. Selain itu gas air mata juga dapat terkumpul pada masker sehingga menjadi tak tahan untuk dipakai," jelasnya.
Sehingga, Dicky menilai, aksi unjuk demonstrasi ini sangat mungkin menjadi klaster baru dan hal ini bisa saja dibuktikan pada dua pekan mendatang.
"Artinya kita tinggal lihat dua minggu kemudian penyebaran ini. Seperti halnya demo yang terjadi di Melbourne, beberapa waktu lalu terjadi demo black lives matter itu jadi pemicu klaster dan Melbourne memerlukan lockdown beberapa minggu karena banyaknya kasus dan kematian," ujarnya.
BACA JUGA:
Selanjutnya, berkaca dari kejadian aksi demonstrasi ini, Dicky kemudian mengingatkan agar pemerintah tak mengambil kebijakan yang kontroversial dan menimbulkan pro kontra di tengah pandemi COVID-19 seperti sekarang ini. Tujuannya, agar kegiatan masif semacam ini tak perlu kembali terjadi.
"Jangan membuat kebijakan yg akhirnya terjadinya demo atau pro kontra di masyarakat," ujarnya.
Dia juga menyebut pemerintah harusnya punya manajemen risiko, yang salah satunya memastikan produk regulasi yang diterbitkan tidak kemudian menimbulkan pro kontra dan berakhir dengan adanya gerakan aksi demonstrasi.
"Karena dampaknya akan menjadi bola salju, akan jadi trigger kemana-mana, ini harusnya bisa jadi pelajaran penting. Dan sekali lagi pengambilan keputusan, termasuk Pilkada dan lainnya harus dipertimbangkan secara matang. Jadi aspek keilmuan, aspek ilmiah ini tidak boleh dikesampingkan karena bisa terjadi hal yang lebih buruk," ungkapnya.
Lagipula, jika sudah terjadi penumpukan massa seperti aksi demonstrasi kemarin akan sulit melakukan pencegahan kecuali semua wilayah di DKI Jakarta dikarantina atau diisolasi. Belum lagi, sulitnya mendeteksi dan mengungkap siapa saja yang ikut dalam aksi tersebut baik aparat maupun pesertanya.
"Maka itulah sebabnya, saya menyebut pentingnya manajemen risiko. Selain penguasaan ilmu wabah dalam pengendalian pandemi, dia juga ada manajemen risiko di mana ada risk communication juga di situ yang salah satunya memastikan produk regulasi itu tidak akan menimbulkan pro kontra luar biasa hingga menimbulkan demo," tegas Dicky.
Sebelumnya, kemungkinan terjadinya klaster demonstrasi juga disampaikan oleh Ketua Tim Mitigasi PB IDI M. Adib Khumaidi. Sebab, peristiwa tersebut mempertemukan ribuan, bahkan puluhan ribu orang yang sebagian besar tidak hanya mengabaikan jarak fisik, namun juga tidak mengenakan masker.
"Berbagai seruan nyanyian maupun teriakan dari peserta demonstrasi tersebut tentu mengeluarkan droplet dan aerosol yang berpotensi menularkan virus terutama COVID-19. Ditambah banyaknya kemungkinan peserta demonstrasi yang datang dari kota atau wilayah yang berbeda; jika terinfeksi, mereka dapat menyebarkan virus saat kembali ke komunitasnya," katanya dalam keterangan tertulis.
Ditambahkan Adib, bukan tugas tenaga kesehatan untuk menilai mengapa orang-orang tersebut terlibat dalam demonstrasi. Dalam hal ini, kami menjelaskan kekhawatirannya dari sisi medis dan berdasarkan sains - hal yang membuat sebuah peristiwa terutama demonstrasi berisiko lebih tinggi daripada aktivitas yang lain.
"Kekhawatiran kami sebagai tenaga kesehatan, akan terjadi lonjakan masif yang akan terlihat dalam waktu 1-2 minggu mendatang. Dalam kondisi saat ini saja, para tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan sudah kelimpungan menangani jumlah pasien COVID yang terus bertambah," kata dia.