Jaksa ke Jerinx: Apakah Postingan Konspirasi COVID-19 Menunjukkan Empati ke Dokter?
Sidang Jerinx, Kamis, 1 Oktober (Tangkapan layar Youtube PN Denpasar)

Bagikan:

JAKARTA - Giliran jaksa penuntut umum menanggapi nota keberatan (eksepsi) penasihat hukum musisi I Gede Ari Astina alias Jerinx. Jaksa mengulas postingan Jerinx yang didakwa menyebarkan kebencian.

“Kami jaksa penuntut umum mengapresiasi terhadap penasihat hukum terdakwa yang telah mengakui membenarkan jika terdakwa benar mengunggah postingan di Instagram 13 Juni, sehingga memperkuat keyakinan kami tentang pembuktian dari surat dakwaan,” kata jaksa dalam sidang lanjutan Jerinx yang disiarkan di Youtube PN Denpasar, Kamis, 1 Oktober. 

Jaksa membaca ulang lagi caption pada postingan tanggal 13 Juni itu. Unggahan Jerinx di akun Instagram itu bertuliskan kalimat “Gara-gara bangga jadi kacung WHO, IDI dan RS seenaknya mewajibkan semua orang yang akan melahirkan dites CV19. Sudah banyak bukti jika hasil tes sering ngawur kenapa dipaksakan? Kalau hasil tes-nya bikin stres dan menyebabkan kematian pada bayi/ibunya, siapa yang tanggung jawab,” 

Pun dengan postingan Jerinx tanggal 15 Juni, yang juga dibaca ulang jaksa. “postingan ‘tahun 2018 ada 21 dokter yang meninggal, ini yang terpantau oleh media saja ya, sayang ada konspirasi busuk yang mendramatisir situasi seolah dokter meninggal hanya tahun ini agar masyarakat ketakutan berlebihan terhadap COVID-19. Saya tahu dari mana? silakan salin semua link yang ada di foto, post di FB/IG anda, lalu lihat apa yang terjadi. masih bilang COVID-19 bukan konspirasi? Wake the fuck up Indonesia',” kata jaksa.

Lantas jaksa mempertanyakan maksud dan niat Jerinx mengunggah dua postingan itu yang diklaim pengacara Jerinx hanya sebatas kritik dari warga negara. Jerinx memang mempersoalkan rapid test sebagai syarat administrasi.

“Lalu muncul pertanyaan apakah postingan tersebut selain sebagai kritik terdakwa terhadap kebijakan pemerintah mengenai rapid test sebagai syarat administritasi, juga menunjukkan terdakwa memiliki rasa empati kepada dokter dan tenaga kesehatan yang meninggal dunia saat bertugas di garda terdepan sejak awal pandemi COVID-19?” kata jaksa dalam pendahuluan tanggapan atas eksepsi Jerinx.

“Apakah postingan terdakwa sebagai bentuk empati kepada anak, istri, suami, keluarga dokter, tenaga kesehatan yang meninggal dunia dalam bertugas untuk menyelamatkan saudara kita dalam perawatan?” lanjut jaksa.

Dalam sidang hari Selasa 29 September, tim penasihat hukum Jerinx mengulas bagaimana awal Jerinx bereaksi bersuara lantang karena gagapnya pemerintah menangani COVID-19.

“Sudah bukan rahasia lagi pemerintah terlihat gagap menangani COVID-19, mulai dari pernyataan pejabat di awal-awal wabah yang kesannya meremehkan COVID-19 sampai dengan kebijakan yang tidak jelas dan berubah-ubah sehingga membingungkan masyarakat,” ujar pengacara Jerinx, I Wayan Adi Sumirta.

Kebijakan tata kelola penanganan virus Corona menurut pengacara Jerinx merugikan masyarakat. Karenanya Jerinx bersuara lantang termasuk lewat akun media sosialnya. Pengacara menyebut Jerinx bukan hanya bersuara kritis, tapi bertindak membantu warga kurang mampu di Bali.

“Bahkan saat penuntut umum, majelis hakim, menahan terdakwa, kegiatan bagi-bagi pangan untuk rakyat tidak mampu masih terus berjalan. Terdakwa mengkritik dengan bertanggungjawab bukan hanya ucapan, tapi tindakan,” tegas Adi.

Pangkal persoalan suara kritis Jerinx disebut terkait dengan penerapan kebijakan rapid test sebagai syarat administrasi termasuk untuk berpergian. Padahal rapid test merujuk pada keterangan akademisi dan profesi kesehatan, sambung pengacara, tidak memberi kepastian orang tersebut terjangkit atau tidak terpapar COVID-19