Menko PMK: Ormas di Indonesia Jumlahnya Lebih dari 430 Ribu, Berpotensi Wujudkan Demokrasi Inklusif
Menko PMK Muhadjir Effendy. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan organisasi masyarakat (ormas) di Indonesia jumlahnya saat ini lebih dari 430 ribu. Menurutnya, jumlah ormas itu bisa menjadi modal besar mewujudkan demokrasi yang inklusif dan efektif di Indonesia.

“Kementerian Dalam Negeri menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 430 ribu ormas di Indonesia. Dua organisasi kemasyarakatan (ormas) yaitu NU dan Muhammadiyah berbasiskan Islam. Kedua ormas tersebut memiliki anggota lebih dari 150 juta orang. Belum lagi jika digabungkan dengan potensi ormas yang lain. Dapat kita bayangkan begitu besarnya potensi ormas dalam berkolaborasi mewujudkan demokrasi yang inklusif dan efektif ini,” ujar Muhadjir Effendy dalam Indonesian Civil Society Forum 2022 (ICSF 2022) yang diselenggarakan secara virtual, Rabu 30 Maret.

Dia menegaskan ormas akan selalu memiliki peran yang besar dalam masa depan demokrasi di Indonesia.

“Inilah yang mungkin tidak ada, tidak didapati di beberapa negara yang sekarang menganut demokrasi. Jadi kekuatan masyarakat sipil, organisasi-organisasi sosial yang sifatnya filantropi maupun organisasi keagamaan itu memiliki peran yang sangat dominan,” kata Muhadjir, melansir Antara.

Peranan organisasi sosial kemasyarakatan ini, kata dia, sangat dirasakan ketika Indonesia menghadapi pandemi COVID-19.

“Saya sebagai Menko PMK, saya berani katakan bahwa sumbangan (untuk pandemi, red) dari organisasi sosial kemasyarakatan ini di atas 30 persen dari kelima kelompok strategis (pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, dunia usaha dan media). Peranan dari organisasi kemasyarakatan terutama ormas terbesar yaitu NU dan Muhammadiyah ini porsinya mendekati 30 persen,” kata Muhadjir.

Selain itu, lanjut dia, Indonesia dari satu sisi banyak kelebihan.

“Karena itu dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika kita melihat keanekaragaman Indonesia secara positif, tetapi kita tidak boleh menutup mata bahwa ada konsekuensi–konsekuensi yang harus ditanggung dengan kondisi realitas sosial yang ada di Indonesia ini,” kata Menko PMK.

Misalnya, lanjut dia, Indonesia dengan memiliki 17.000 pulau ini memiliki konsekuensi yang tidak mudah dalam membangun demokrasi di tanah air.

“Misalnya antara pulau dengan penduduk itu hampir identik, tidak mudah dibaurkan untuk membangun demokrasi inklusif itu,” kata dia.

Ia mengatakan negara dengan kepulauan memiliki tantangan sendiri dan perlu ada upaya khusus agar betul-betul tercipta demokrasi yang baik.

“Karena itu kita tahu bahwa sebaran penduduk Indonesia itu sering diidentikkan dengan nama pulau. Yang saya kira di negara lain itu mungkin tidak ada. Misalnya mereka yang tinggal di Jawa disebut Suku Jawa, mereka yang tinggal di Kalimantan disebut Suku Kalimantan dan seterusnya, walaupun di dalamnya juga ada sub-suku yang ada. Tapi ini menunjukkan betapa susahnya kita melakukan inklusivitas kependudukan di Indonesia atas dasar identitas etnis dan keagamaan. Jadi untuk membaurkan agama di Indonesia juga merupakan tantangan tersendiri,” ujar Muhadjir.