Eks Komisioner Minta KPU Larang Kampanye yang Berpotensi Kerumunan
Ilustrasi (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Hadar Nafis Gumay meminta KPU meminimalisasi penularan COVID-19 dalam tahapan Pilkada 2020 dengan tegas.

Daripada meminta para pasangan calon kepala daerah untuk tidak lagi menimbulkan kerumunan, menurut Hadar, lebih baik KPU meniadakan kegiatan kampanye yang mengumpulkan massa.

"Pendekatan yang harus digunakan adalah pencegahan terciptanya kerumunan dan terlaksana penerapan protokol kesehatan dengan ketat. Hilangkan berbagai proses pilkada yang bertemu langsung dan berpotensi timbulnya kerumunan," kata Hadar, Selasa, 15 September.

Dalam Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020 yang mengatur pelaksanaan Pilkada 2020 ketika pandemi COVID-19, kegiatan kampanye yang berpotensi kerumunan antara lain pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog dan debat publik.  

Selain itu, ada kegiatan lain yang masih boleh dilakukan pasangan calon untuk berkampanye, antara lain rapat umum, pentas seni, panen raya, konser musik, gerak jalan, sepeda santai, perlombaan, bazar, donor darah, dan peringatan hari ulang tahun partai politik.

Kemudian, jika pasangan calon melanggar, Hadar meminta KPU memberikan sanksi tegas. Misalnya, larangan kampanye hingga diskualifikasi dari calon. 

Jika terkendala aturan untuk menindak, Hadar menyebut KPU bisa membuat aturan baru atau mendorong pemerintah mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang (perpu). 

"Pemberian sanksi ini penting. Namun tetap, landasan hukum perlu yang kokoh. Sanksi andiminstrasi pembatalan paslon memerlukan perubahan undang-undang atau Perpu. Sebab, PKPU sebagai landasan tidak cukup," tutur pemerhati pemilu tersebut.

Seperti diketahui, Komisioner KPU RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengaku tidak bisa membuat aturan tahapan Pilkada 2020 yang secara tegas mencegah potensi penularan COVID-19. 

Sebab, KPU secara resmi masih menggunakan landasan hukum Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur soal pelaksanaan pilkada. 

Meski ada penambahan regulasi, yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020, aturan tersebut hanya menambahkan ketentuan penyelenggaraan pilkada disertai penerapan protokol kesehatan untuk mencegah peyebaran COVID-19.

"Kami sebetulnya berharap bisa melakukan banyak perubahan secara lebih progresif. Tapi satu hal yang jadi kendala, karena UU Pilkada itu UU 10 Tahun 2016 sebagai hukum positif, dia tetap berlaku," kata Dewa.