JAKARTA - Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Wisnu Widjaja menyebut, paling banyak daerah yang mengikuti Pilkada Serentak Lanjutan 2020 berada di zona oranye.
Zona oranye dalam hal ini adalah daerah dengan risiko sedang COVID-19. Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan COVID-19, daerah zona oranye ini sebanyak 56,96 persen dari seluruh daerah yang mengikuti pilkada.
"Data per 13 September, zona risiko sedang berada di 176 kabupaten/kota. Angka ini naik dari pekan lalu yakni 6 September, dengan 152 kabupaten/kota di zona risiko sedang," kata Wisnu dalam diskusi virtual, Selasa, 15 September.
Kemudian, saat ini ada 82 kabupaten/kota atau 26,54 persen daerah pilkada yang masuk dalam zona kuning atau risiko rendah COVID-19.
Disusul, ada 29 kabupaten/kota atau 9,38 persen daerah dengan zona hijau atau yang tidak terdampak maupun tidak memiliki kasus baru selama 2 pekan.
Selanjutnya, ada 22 kabupaten/kota atau 7,12 persen daerah yang masuk dalam zona merah atau daerah dengan risiko tinggi COVID-19.
"Jumlah daerah dengan zona hijau dan zona merah menurun. Sementara, daerah dengan zona kuning dan oranye meningkat dari pekan lalu," jelas dia.
Sebagai informasi, pelaksanaan Pilkada 2020 diselenggarakan di tengah pandemi COVID-19. Semua tahapan yang melibatkan pertemuan fisik diwajibkan menerapkan protokol kesehatan untuk menekan angka kasus virus corona.
Sayangnya, penerapan ini sulit dilakukan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan ada 243 bakal pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan saat melakukan pendaftaran sebagai peserta pemilihan.
Pelanggaran tersebut berupa pembiaran kerumunan massa dan arak-arakan oleh para pendukung bapaslon menuju kantor KPU daerah setempat.
Sejauh ini, penindakan yang bisa dilakukan Bawaslu saat ada bakal pasangan calon Pilkada 2020 yang melanggar protokol kesehatan hanya berupa teguran, baik secara langsung maupun tertulis.
Kemudian, Bawaslu juga meneruskan 243 pelanggaran protokol kesehatan yang terdata kepada pihak kepolisian. Sebab, hanya aparat penegak hukum yang bisa menjatuhkan sanksi lebih berat yakni pidana.
Ancaman pidana tersebut masuk dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular dan UU Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.