JAKARTA - Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Letnan Jenderal TNI Doni Monardo mengatakan, penetapan warna zona penyebaran COVID-19 dipengaruhi 15 kriteria yang mengacu kepada organisasi kesehatan dunia (WHO), epidemiologi, hingga surveilans kesehatan masyarakat.
Beberapa kriteria itu di antaranya, penurunan jumlah kasus positif, angka kematian, serta jumlah ODP dan PDP selama dua pekan terakhir dari kasus tertinggi. Selain itu, kenaikan jumlah kesembuhan kasus positif, jumlah pemeriksaan spesimen selama dua pekan juga bepengaruh pada penetapan zona.
"15 kriteria ini nantinya akan ditemukan angkanya. Sehingga tiap-tiap angka ini akan mencerminkan warnanya. kalau resikonya tinggi berarti angkanya rendah, artinya tidak atau belum memenuhi semua persyaratan yang diharapkan baik dari WHO atau Kemenkes," kata Doni dalam konferensi pers yang disiarkan di akun YouTube Kemendikbud, Senin, 15 Juni.
Kata dia, yang menjadi catatan, bagi daerah yang menjadi zona hijau bukan berarti bisa bebas untuk melakukan berbagai hal. Diharapkan, masyarakat tetap menjaga kebersihan dan kesehatan dengan baik. Sehingga, tidak akan terjadi perbuhanan warna zona di daerah tersebut.
"Yang sekarang sudah zona hijau tetapi tidak hati-hati dalam kegiatan dan tidak memperhatikan protokol kesehatan ini bisa jadi dari hijau berubah menjadi kuning," kata Doni.
Perubahan warna zona bisa terjadi setiap saat tergantung dari perkembangan dan dinamika yang terjadi. Sebabnya, dia meminta masyarakat untuk terus memperhatikan penggunaan masker, saling menjaga jarak, kebiasaan cuci tangan hingga peningkatan kebersihan.
"Zona hijau tetapi tidak hati-hati dalam kegiatan menjaga atau memperhatikan protokol Kesehatan tidak memperhatikan tentang penggunaan masker tidak memperhatikan tentang jaga jarak dan juga kurang memperhatikan masalah kebersihan, tidak cuci tangan ini bisa jadi dari hijau berubah menjadi kuning," pungkas Doni.
Pembuatan zonasi
Sementara Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Profesor Wiku Adisasmito menyebut, seluruh daerah di Indonesia akan dibagi menjadi beberapa zona terkait potensi penularan dan penyebaran COVID-19. Pembagian zona ini menggunakan warna.
Ada empat warna yang nantinya akan digunakan. Mulai dari hijau, kuning, orange, dan merah. Warna tersebut menandakan suatu daerah tak ditemukan kasus positif hingga banyak terjadu penularan COVID-19.
"Masing-masing warna zona adalah yang pertama adalah zona hijau berarti belum ada kasus positif. Sedangkan zona kuning atau risiko rendah berarti sudah ditemukan kasus dan perlu penelusuran kontak dari kasus positif yang ada ODP dan PDD dan risiko kenaikan kasusnya relatif rendah. Sedangkan zona orange atau resiko sedang itu berarti juga ditemukan kasus-kasus positif dan memiliki risiko kenaikan kasusnya sedang. Terakhir adalah zona merah berarti daerah-daerah ini memiliki risiko yang paling tinggi dari jumlah kenaikan kasusnya," kata Wiku di Graha BNPB, Jakarta, Kamis, 4 Juni.
Dengan penetapan zonasi tersebut, sambung Wiku, pemimpin daerah secara otomatis mendapat kewenangan sebagai ketua gugus tugas daerah. Sehingga, nantinya bisa menerapkan atau justru mengeluarkan kebijakaan yang seseuai dengan keadaan masing-masing daerah.
Namun, dalam pemberlakuan atau membuat kebijakan harus terlebih dahulu berkoordinasi dengan instansi terkait. Sehingga, kebijakan tersebut nantinya akan berjalan maksimal.
"Proses tersebut juga melakukan konsultasi dan koordinasi dengan para pihak yang ada di daerah, berkonsultasi dengan DPRD, dengan tokoh masyarakat dengan media. Sehingga semua pihak betul-betul ikut terlibat dalam pengambilan keputusan untuk masing-masing daerahnya," tegas Yuri.
Kemudian setiap daerah nantinya akan berusaha merubah warna zona masing-masing menjadi lebih baik. Hingga akhirnya, seluruh daerah di Indonesia masuk kategori zona hijau.
Usai berada pada kategori zona hijau, nantinya gugus tugas pusat akan memastikan kembali hal tersebut dengan menggunakan beberapa indikator yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO). Tujuannya untuk memastikan daerah tersebut aman bagi masyarakat untuk produktif kembali.
Ada tiga indikator yang menjadi penilaian utama. Pertama secara epidemiologi, pengawasan kesehatan masyarakat, dan pelayanan kesehatannya.
"Indikator-indikator ini terdiri dari tiga kriteria penting. Yang pertama adalah epidemiologi, yang kedua adalah surveillance kesehatan masyarakat dan yang ketiga dari pelayanan kesehatan," ungkap Wiku.
Selain itu, penilaian juga melihat dari tingkat kesembuhan, kematian, pemeriksaan spesimen, dan ketersediaan alat dan tenaga medis di daerah tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kesiapan daerah tertentu ketika menghadapi masa pagebluk COVID-19.
"Sumber data yang digunakan berasal dari data surveillance dan database dari rumah sakit se-Indonesia yang dari dulu selalu dikumpulkan ke Kementerian Kesehatan. Data-data tersebut dianalisis merupakan data kumulatif mingguan, sedangkan status risiko dari suatu daerah akan di-update secara berkala tiap minggu per kabupaten dan kota selain juga menjelaskan tentang kondisi kolektif dari sebuah provinsi," pungkas Wiku.