Ilmuwan Sebut Jasad Penderita COVID-19 yang Dikubur Bisa Racuni Pasokan Air
Ilustrasi pemakaman COVID-19. (Wikimedia Commons/Mstyslav Chernov)

Bagikan:

JAKARTA - Akhir dari pandemi COVID-19 mungkin belum dapat dipastikan, tetapi konsekuensi dari virus tersebut masih akan terasa bertahun-tahun ke depan.

Pandemi kini telah merenggut sekitar 5,9 juta nyawa di seluruh dunia, meskipun beberapa ilmuwan percaya tingkat kematian sebenarnya jauh lebih tinggi. Berapa pun jumlah sebenarnya, kematian terkait COVID-19 telah membanjiri tempat pemakaman yang menyebabkan tumpukan mayat dan situs pemakaman massal di seluruh dunia.

Dan sekarang, sebuah studi baru menunjukkan dampak lingkungan dari tubuh ekstra ini juga mengancam kehidupan beberapa tahun kedepan.

Menurut penelitian yang diterbitkan dalam 'Environmental Science and Pollution Research', kontaminasi kuburan dari jumlah korban manusia yang lebih tinggi selama pandemi, dapat mempengaruhi lingkungan perkotaan di sekitarnya juga.

Ketika mayat mulai membusuk, proses dekomposisi menghasilkan cairan yang dikenal sebagai lindi kuburan.

Itu adalah cairan 'kaya akan garam mineral dan zat organik' yang 'sangat beracun bagi makhluk hidup, dan mungkin juga terkait dengan penyakit seperti kanker' kata studi tersebut.

Sementara tempat pemakaman secara tradisional dibangun jauh dari komunitas perkotaan, seperti kuburan 'Magnificent Seven' di London Victoria, peningkatan urbanisasi telah membawa kuburan dan tempat tinggal manusia lebih dekat.

kuburan covid-19
Ilustrasi pemakaman korban COVID-19. (Wikimedia Commons/Fars News Agency)

Logam dari alat pacu jantung, perhiasan apa pun yang digunakan untuk mengubur orang tersebut hingga pernis dan logam dari peti mati itu sendiri dapat larut ke dalam tanah juga.

Proses ini tidak terjadi dalam semalam. Lindi kuburan membutuhkan waktu untuk menumpuk, umumnya baru mulai dilepaskan dari tubuh yang membusuk setelah tiga tahun.

Prosesnya juga tergantung pada iklim tanah pemakaman juga. Daerah dengan suhu dan curah hujan yang lebih tinggi, cenderung melihat tingkat polusi logam berat yang lebih tinggi daripada yang lain.

"Mayat seberat 70 kg akan melepaskan 13 kg lindi kuburan saat membusuk. Pikirkan kuburan di mana ratusan mayat dikuburkan dan seberapa parah tanah dan air tanah akan terkontaminasi," Alcindo Neckel yang mempelajari logam di tanah kuburan perkotaan di Brasil Selatan, mengatakan kepada Popular Science seperti dikutip dari Euronews 17 Februari.

"Ini bukan hanya masalah kesehatan masyarakat, tetapi juga masalah ekonomi kota-kota yang sedang berkembang. Pada tingkat ini, orang mati perlahan meracuni mereka yang masih hidup," tandasnya.

Tindakan apa yang dilakukan untuk mencegah kontaminasi? Untuk mengurangi risiko kontaminasi air tanah, ada pedoman ketat di banyak negara untuk penguburan mayat.

Di Inggris, perlindungan air tanah minimum yang diperlukan termasuk mengubur tubuh "setidaknya 250 meter dari sumur, lubang bor, atau mata air mana pun yang memasok air untuk konsumsi manusia." Dan "setidaknya 30 meter dari mata air atau aliran air yang tidak digunakan untuk konsumsi manusia."

Penguburan juga harus menghindari permukaan air, kedalaman di mana tanah jenuh. Akibatnya, ini berarti situs kuburan tidak boleh memiliki genangan air di dalamnya setelah digali.

Namun di Jepang, karena populasi yang menua dan kurangnya ruang, 99,9 persen mayat sekarang dikremasi, menghilangkan masalah polusi air tanah sepenuhnya.

Untuk diketahui, tindakan tegas seperti itu tidak selalu diperhatikan, terutama ketika suatu negara berada dalam keadaan darurat. Di India, selama puncak gelombang kedua negara itu, banyak korban COVID-19 dimakamkan di kuburan massal dangkal di dekat Sungai Gangga, dengan banyak mayat muncul kembali setelah banjir musiman.

Hal ini menimbulkan masalah kesehatan di antara penduduk setempat, karena penyakit seperti kolera dapat menyebar ke saluran air jika jenazah tidak dikubur secara memadai.