JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berupaya mengembalikan aset dari hasil korupsi yang dilakukan oleh para koruptor. Salah satu caranya dengan menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) saat mengusut dugaan korupsi.
"Prinsip ini penting dan KPK saat ini terapkan dalam setiap penyelesaian perkara tindak pidana korupsi," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 23 Februari.
Meski begitu, KPK memastikan penerapan pasal tersebut tidak serta merta dilakukan. Ali bilang, ada berbagai unsur yang harus dipenuhi, seperti telah terjadi perubahan bentuk dari hasil tindak pidana korupsi menjadi aset bernilai ekonomis seperti properti, kendaraan, surat berharga, dan lainnya.
"Pada praktiknya, penerapan pasal TPPU pada perkara tindak pidana korupsi, tentu harus memenuhi berbagai unsurnya," tegasnya.
"Meski demikian, apakah tindak pidana tersebut kemudian memenuhi unsur untuk dapat diterapkan pasal TPPU atau tidak tentu goalnya tetap sama, yaitu adanya upaya asset recovery hasil korupsi yang dinikmati oleh para koruptor," imbuh Ali.
Lebih lanjut, Ali memaparkan hingga tahun ini sejak 2012 lalu, KPK sudah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan TPPU sebanyak 45 perkara.
"Sedangkan khusus dari tahun 2020 hingga saat ini telah ada 10 surat perintah penyidikan perkara TPPU," ujarnya.
BACA JUGA:
Sebagai informasi, kini KPK memang sedang mengusut sejumlah kasus TPPU yang salah satu tersangkanya adalah Bupati Probolinggo nonaktif Puput Tantriana Sari dan suaminya, Hasan Aminuddin. Dari keduanya, bahkan KPK tengah menyita aset berupa tanah dan bangunan dengan nilai mencapai Rp50 miliar.
Penetapan Puput dan Hasan sebagai tersangka dugaan pencucian uang ini dilakukan setelah KPK melakukan pengembangan kasus suap jual beli jabatan yang menjeratnya.
Dalam kasus suap jual beli jabatan, KPK telah menetapkan 22 orang sebagai tersangka. Mereka terdiri dari 4 penerima suap dan 18 pemberi suap.
Suap yang diberikan oleh para ASN di lingkungan Pemkab Probolinggo ini dilakukan agar mereka bisa menjabat sebagai pejabat kepala desa. Masing-masing orang wajib membayar Rp20 juta dan upeti tanah desa Rp5 juta per hektar.
Empat orang penerima adalah Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari, anggota DPR Hasan Aminuddin, Camat Krejengan Doddy Kurniawan, dan Camat Paiton Muhamad Ridwan.
Sementara 18 pemberi yakni Sumanto, Ali Wafa, Mawardi, Mashudi, Maliha, Mohammad Bambang,Masruhen, Abdul Wafi, Kho'im, Akhmad Saifullah, Jaelani, Uhar, Nurul Hadi, Nuruh Huda, Hasan, Sahir, Sugito, dan Syamsuddin sebagai tersangka pemberi.