JAKARTA - Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan Surat Edaran No SE 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Dalam aturan tersebut, Penggunaan pengeras suara luar paling lama 5 sampai 10 menit sebelum azan.
"Pedoman diterbitkan sebagai upaya meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat," ujar Menag Yaqut dalam keterangan tertulis, Senin, 21 Februari.
Menag menjelaskan, surat edaran yang terbit 18 Februari 2022 ditujukan kepada Kepala Kanwil Kemenag Provinsi, Kepala Kantor Kemenag kabupaten/kota, Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan, Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ketua Dewan Masjid Indonesia, Pimpinan Organisasi Kemasyarakatan Islam, dan Takmir/Pengurus Masjid dan Musala di seluruh Indonesia. Sebagai tembusan, edaran ini juga ditujukan kepada seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia.
"Pedoman ini agar menjadi pedoman dalam penggunaan pengeras suara di masjid dan musala bagi pengelola (takmir) masjid dan musala dan pihak terkait lainnya," kata Menag.
Hanya saja, SE yang diterbitkan Menag menuai pro dan kontra di kalangan DPR, khususnya mitra kerjanya Komisi VIII. Ada yang menyebut aturan ini perlu, sebaliknya pedoman tersebut dinilai menghilangkan tradisi.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadizily menilai, saat ini memang sudah saatnya aturan pengeras suara atau toa di masjid dan musala diperbaharui.
"Aturan soal ini sesungguhnya sudah lama dibuat oleh Kementerian Agama sejak tahun 1978," ujar Ace saat dikonfirmasi, Senin, 21 Februari.
Selain itu, menurut Ace, soal aturan soal volume toa masjid maksimal berada di 100 desibel (dB) juga pasti sudah melalui berbagai kajian di Kementerian Agama. Sebab, kata dia, pada prinsipnya, suara toa masjid harus menjaga suasana nyaman bagi semua pihak.
"Kan kita harus menghargai antara sesama kita," ucap Ketua DPP Golkar ini.
Bahkan, kata Ace, beberapa negara Islam sudah mengatur pengeras suara masjid. Diantaranya, Arab Saudi dan Malaysia.
"Di beberapa negara muslim seperti Arab Saudi, Malaysia, dan negara lainnya soal pengeras suara ini ada aturannya," imbuhnya.
Legislator Jawa Barat itu juga mendukung aturan suara toa masjid haruslah bagus atau tidak sumbang dan menggunakan pelafalan yang baik dan benar.
"Saya kira hal ini sudah seharusnya demikian. Nabi Muhammad SAW sendiri mengajarkan kita untuk mengumandangkan suara azan dengan suara yang indah dan benar," kata Ace.
Sementara, Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKS, Bukhori Yusuf, mengkritik kebijakan terbaru Kementerian Agama itu.
Bukhori menilai, secara substansi pedoman tersebut mengabaikan dinamika kondisi sosiologis dan kultural masyarakat setempat. Mengingat jangkauan dari edaran tersebut tidak hanya dialamatkan kepada masjid atau musala yang berada di wilayah perkotaan, tetapi juga di wilayah pedesaan.
“Penggunaan pengeras suara di masjid adalah tradisi umat Islam di Indonesia. Bagi masyarakat tradisional yang komunal, mereka relatif memiliki penerimaan yang lebih positif terhadap tradisi melantunkan azan, zikir, atau pengajian dengan suara keras melalui speaker masjid," ujar Bukhori di Jakarta, Selasa, 21 Februari.
"Selain alasan di dalam budaya komunal setiap laku individu terkonstruksi secara alamiah untuk mengutamakan kepentingan umum. Tradisi tersebut juga tidak menemukan masalah ketika diterapkan di lingkungan yang homogen seperti pedesaan,” sambungnya.
Legislator dapil Jawa Tengah ini mengatakan, dalam konstruksi kebudayaan masyarakat di pedesaan, bunyi keras tersebut telah menjelma sebagai ‘soundscape’ atau bunyi lingkungan. Sehingga, kata Bukhori, apabila frekuensi ataupun kapasitas dari bunyi tersebut berkurang, melemah, bahkan menghilang, maka dapat berpengaruh terhadap suasana kebatinan penduduk yang biasa terpapar oleh lantunan suara dari masjid/musala, walaupun dilakukan secara bersahut-sahutan dengan volume yang keras.
“Seperti ada bagian yang hilang dalam keseharian hidup mereka,” ungkapnya.
Meski begitu, politikus PKS itu mengamini bahwa fenomena yang dianggap lazim di pedesaan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima oleh penduduk di lingkungan perkotaan. Di mana hidup dalam suasana heterogen, individualistik, serta bising, sehingga ketenangan menjadi hal yang didambakan di tengah hiruk pikuk kehidupan metropolitan.
“Dalam kondisi itu, pengaturan pengeras suara pada tingkat yang proporsional menjadi hal yang perlu dilakukan. Selain demi menjaga harmoni sosial di lingkungan yang heterogen, juga penting untuk menjaga simpati masyarakat atas kegiatan keagamaan yang dilakukan," katanya.
"Meski demikian, dalam mewujudkan hal itu sesungguhnya tidak perlu sampai dilakukan secara eksesif. Misalnya melalui intervensi negara yang mencampuri hingga urusan teknis soal peribadatan, tetapi cukup berangkat dari rasa kesadaran dan keterbukaan pikiran masyarakat, khususnya bagi pihak takmir masjid atau pengurus DKM,” lanjutnya.
Terkait dengan pentingnya mendukung inisiasi masyarakat dalam mewujudkan harmoni sosial, Bukhori lantas mengambil contoh inisiatif yang dilakukan oleh umat Islam di Bali. Di sana tidak menggunakan pengeras suara ketika umat Hindu memperingati hari raya Nyepi dalam rangka penghormatan dan toleransi.
"Begitupun sebaliknya dengan umat Hindu yang memaklumi penggunaan pengeras suara yang bersahutan oleh sejumlah masjid di Bali ketika menyambut peringatan hari raya Idul Fitri/Adha meskipun jumlah penganut muslim minoritas di sana," jelas Bukhori.
Anggota Badan Legislasi ini juga menekankan, pengaturan pengeras suara tidak boleh disertai unsur pemaksaan, tetapi membutuhkan pendekatan dari hati ke hati. Menurutnya, bagi pihak yang merasa terusik dapat menyampaikan rasa keberatannya secara santun kepada pihak takmir.
Diharapkan juga pihak takmir untuk pengertian, bijaksana, dan berjiwa besar dalam merespons dinamika masyarakat yang terdampak oleh pengeras suara masjid/musala dengan merumuskan jalan keluar yang humanis dan tidak mengurangi esensi syiar agama sedikit pun.
“Kuncinya adalah menyerahkan urusan ini kepada masyarakat untuk mengaturnya melalui tradisi atau musyawarah mengingat setiap kampung/daerah berbeda kondisi sosio-kulturalnya antara satu dengan yang lainnya,” pungkasnya.