JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) Kejaksaan Agung (Kejagung) menggelar pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk meningkatkan kompetensi calon penyelidik dan penyidik KPK.
Pembukaan diklat di Aula Badan Diklat Kejaksaan RI Jakarta, dihadiri Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Pelaksana Tugas (Plt.) Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana, serta Kepala Badiklat Kejagung Tony Tribagus Spontana.
"Kami ingin penyelidik dan penyidik KPK benar-benar profesional; karena sesuai undang-undang, pegawai KPK direkrut berdasarkan keahliannya. Jadi, calon penyelidik dan penyidik yang direkrut sudah memiliki pengalaman dalam bidang penyelidikan maupun penyidikan," kata Alex dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin 21 Februari dikutip dari Antara.
Program diklat tersebut pertama kali diselenggarakan setelah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disahkan.
Sebelumnya, rekrutmen penyelidik KPK dilakukan melalui proses alih tugas, yaitu dengan asesmen dan pelatihan.
Alex menjelaskan penyelidik dan penyidik KPK berbeda dengan penegak hukum lainnya. Penyelidik KPK sudah harus bisa menemukan dua alat bukti dalam suatu kasus dugaan korupsi, sebelum dimulainya ekspose untuk naik ke tahap penyidikan, jelasnya.
"Jadi, di tahap penyelidikan itu kami sudah tahu siapa nanti yang akan jadi tersangkanya," katanya.
Praktik tersebut, lanjutnya, masih menjadi pedoman hingga kini, meskipun KPK memiliki kewenangan untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
"Pasalnya, KPK ingin memberikan kepastian hukum, dimana saat menetapkan seseorang sebagai tersangka, harus berakhir di persidangan sampai diputus oleh pengadilan," jelasnya.
Menurut dia, menjadi penyelidik dan penyidik yang profesional harus paham perundangan-undangan dan juga proses bisnis, lantaran kasus korupsi di Indonesia mayoritas terdiri dari kasus merugikan negara dan kasus suap.
Sedangkan, tambahnya, 90 persen kasus korupsi di daerah berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa. Prinsip yang sama juga berlaku untuk kasus korupsi di bidang lainnya seperti perbankan atau pasar saham.
Mengingat modus korupsi yang semakin canggih, KPK juga mendorong upaya penindakan tindak pidana korupsi dengan menambah pengenaan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan pidana korporasi guna memaksimalkan pengembalian kerugian kepada negara.
Pada kesempatan sama, Wawan Wardiana menyampaikan pendidikan dan pelatihan (diklat) adalah bagian penting untuk memenuhi kompetensi pegawai KPK.
Dia berharap diklat bisa menjadi pedoman bagi pegawai KPK untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan dalam menjalani tugasnya kelak, termasuk soal budaya dan etos kerja KPK.
"Meski KPK baru bergabung menjadi bagian Aparatur Sipil Negara (ASN), tidak menyurutkan semangat pemberantasan korupsi," kata Wawan.
BACA JUGA:
Sementara itu, Tony Tribagus Spontana mengatakan kerja sama Kejagung dengan KPK tersebut bisa menjadi momentum peningkatan diklat penegak hukum, khususnya dalam pencegahan korupsi.
Dalam program diklat yang berlangsung selama satu bulan tersebut diikuti 42 peserta dengan latar belakang berbeda, yaitu 24 orang dari Polri, tiga orang dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan 15 orang dari internal KPK.
Para peserta akan mendapatkan kurikulum pendidikan yang terdiri atas orientasi, kode etik penyelidikan dan penyidikan, keahlian dan keterampilan, mata pelajaran khusus soal KPK dan penanganan korupsi serta kewenangan tindak pidana korupsi dan praktiknya.
Bahan diklat akan diajarkan oleh pemateri dari Kejagung, Polri, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), akademisi, dan pakar yang punya layar belakang relevan dengan program diklat.