Bagikan:

JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan melarang pemakaian hijab atau jilbab dalam kompetisi olahraga, akan diteruskan ke Majelis Nasional Prancis setelah Senat pada Hari Rabu menolak untuk memberikan suara pada undang-undang tersebut.

RUU yang lebih luas dikhususkan untuk 'mendemokratisasikan olahraga', termasuk bagaimana federasi olahraga besar diatur. Tapi, itu termasuk klausul, yang sebelumnya dilampirkan sebagai amandemen oleh majelis tinggi yang didominasi konservatif. Menetapkan penggunaan 'simbol agama yang mencolok dilarang' dalam acara dan kompetisi yang diselenggarakan oleh federasi olahraga.

Namun, langkah tersebut ditentang oleh pemerintah sentris Presiden Emmanuel Macron dan sekutunya yang menguasai mayoritas di Majelis Nasional, yang memiliki suara terakhir.

Tempat agama dan simbol-simbol agama yang dikenakan di depan umum adalah masalah kontroversi yang sudah berlangsung lama di Prancis, negara sekuler yang kukuh dan rumah bagi minoritas Muslim terbesar di Eropa.

Identitas dan posisi Islam dalam masyarakat Prancis menjadi isu panas menjelang pemilihan presiden Bulan April, dengan dua kandidat sayap kanan yang program nasionalisnya mempertanyakan kompatibilitas Islam, dengan nilai-nilai Republik yang mengumpulkan hampir 35 persen dukungan pemilih di antara mereka.

Pemerintah Presiden Macron dengan cepat mengecam amandemen tersebut. Mengingat mayoritas dipegang oleh partainya dan sekutunya di majelis rendah, amandemen kemungkinan akan dihapus dari RUU yang lebih luas.

"Musuh kami adalah Islamisme radikal, bukan Islam," kata Marlene Schiappa, Menteri Junior untuk Kewarganegaraan, mengutip Rueters 17 Februari.

Prancis akan menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas pada 2024 dan para kritikus undang-undang tersebut mempertanyakan, bagaimana hal itu akan mempengaruhi protokol di Olimpiade, yang pesertanya akan mencakup negara-negara Muslim konservatif, jika diadopsi.

Senator sayap kanan Stéphane Piednoir mengatakan, Piagam Olimpiade menyediakan netralitas politik dan agama.

"Kami tidak dapat mengkompromikan sekularisme dan Prancis tidak dapat melemahkan gerakan Olimpiade," tukas Piednoir kepada majelis tinggi.

Dia mengatakan, RUU itu dirancang untuk memungkinkan 'semua wanita untuk berpartisipasi dalam kompetisi olahraga tanpa pembedaan apapun, tanpa tanda-tanda diskriminasi, tanpa simbol terkait dengan kerudung yang kita tahu adalah alat politik'.

Untuk diketahui, Piagam Olimpiade menyatakan bahwa "tidak ada demonstrasi atau propaganda politik, agama, atau rasial yang diizinkan di situs, venue, atau area Olimpiade mana pun."