JAKARTA - Pemimpin militer baru Burkina Faso Letnan Kolonel Paul-Henri Sandaogo Damiba mengatakan pada Hari Kamis, negara Afrika Barat itu kembali ke tatanan konstitusional ketika kondisinya benar.
Ini untuk pertama kalinya Letnan Kolonel Damiba berbicara di televisi nasional, sejak memimpin pemberontakan yang menggulingkan Presiden Roch Marc Kabore pada Hari Senin.
"Ketika kondisinya tepat, sesuai dengan tenggat waktu yang akan ditentukan rakyat kita dalam semua kedaulatan, saya berkomitmen untuk kembali ke tatanan konstitusional yang normal," tuturnya mengutip Reuters 28 Januari.
Mengenakan baret merah, seragam tentara dan diapit oleh bendera nasional, Letnan Kolonel Damiba mengatakan dia akan mengumpulkan berbagai bagian dari masyarakat Burkina Faso, untuk menyepakati peta jalan guna merencanakan dan melaksanakan reformasi yang diperlukan.
Junta mengatakan pada Hari Senin setelah merebut kekuasaan, mereka akan mengusulkan kalender untuk kembali ke tatanan konstitusional dalam jangka waktu yang wajar, tetapi belum merinci rencananya.
Sebelumnya, sejumlah aparat yang menyebut diri mereka Gerakan Patriotik untuk Perlindungan dan Pemulihan (MPSR), melancarkan pemberontakan pada Minggu malam, dan menggulingkan Presiden Kabore pada Senin, menyalahkan dia karena gagal menahan kekerasan yang semakin memburuk oleh militan agamis.
Letnan Kolonel Damiba berjanji kepada para petani, penggembala dan orang-orang di seluruh negara Sahel Afrika Barat yang terkena dampak kekerasan dari militan yang terkait dengan Al Qaeda dan Negara Islam, mengatakan dia akan mengambil kembali kendali atas zona-zona itu. Dia mengatakan keamanan akan menjadi prioritas.
Pidato Letnan Kolonel Damiba datang sebelum pertemuan darurat yang direncanakan oleh 15 anggota Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat (ECOWAS) pada Hari Jumat, untuk membahas bagaimana menanggapi kudeta.
ECOWAS memberlakukan sanksi terhadap tetangga Burkina Faso, Mali dan Guinea, menyusul pengambilalihan militer masing-masing pada Agustus 2020 dan September 2021.
Kudeta terbaru di Afrika Barat dan Tengah ini terjadi di tengah pemberontakan agamis yang semakin berdarah, menewaskan ribuan orang dan membuat jutaan orang mengungsi di seluruh wilayah Sahel, mengikis kepercayaan pada para pemimpin demokratis untuk memerangi masalah tersebut.
BACA JUGA:
Untuk diketahui, rezim di Mali dan Guinea, serta di negara Afrika Tengah Chad, di mana militer mengambil alih kekuasaan pada April 2021, semuanya telah membentuk pemerintahan transisi dengan campuran perwira militer dan warga sipil.
Sementara Rezim di Mali dan Chad menyetujui transisi 18 bulan ke pemilihan demokratis, sementara Guinea belum menetapkan batas waktunya.