Bagikan:

JAKARTA - Sejumlah Anggota Komisi II DPR RI mengusulkan agar masa kampanye Pemilu 2024 diperpendek. Menanggapi hal ini, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Pramono Ubaid Tanthowi mengaku pihaknya akan mempertimbangkan hal tersebut.

"Terkait dengan usulan untuk memperpendek masa kampanye Pemilu 2024, sebagaimana usulan beberapa Anggota Komisi II DPR RI dalam RDP yg lalu, KPU tentu akan mempertimbangkan dengan seksama," kata Pramono kepada wartawan, Kamis, 27 Januari.

Pramono menjelaskan, berdasarkan regulasi yang ada, masa kampanye tidak diatur harus dilakukan berapa lama. Yang jelas, masa kampaye dimulai tiga hari sejak penetapan calon dan berakhir tiga hari sebelum hari pencoblosan.

Yang perlu menjadi pertimbangan, masa kampanye pemilu berkaitan dengan dua tahapan, yakni sengketa tata usaha negara (TUN), serta proses lelang, produksi, dan distribusi logistik pemilu.

Namun, Pramono menegaskan 120 hari masa kampanye dalam draf peraturan KPU (PKPU) sudah cukup padat.

"Rancangan 120 hari dalam draft PKPU Tahapan itu sudah mengharuskan pemadatan proses penyelesaian sengketa serta lelang, produksi, dan distribusi logistik pemilu," ucap Pramono.

Sebab, dari simulasi yang dilakukan KPU, berdasarkan regulasi yang ada sekarang, maka waktu yang dibutuhkan untuk sengketa dan logistik minimal 164 hari. Sengketa butuh 38 hari, sedangkan logistik butuh 126 hari.

Lebih jelasnya, pada tahapan sengketa, jika ada peserta pemilu atau caleg yang mengajukan sengketa pencalonan ke Bawaslu dan pengadilan TUN, sengketa tersebut baru bisa diajukan setelah penetapan DCT.

"Soal sengketa, kewenangannya berada di Bawaslu dan lingkungan peradilan TUN," ungkap Pramono.

Kemudian, pada proses persiapan logistik seperti surat suara, Pramono menyebut dapat diproduksi setelah penetapan daftar calon tetap (DCT) dan sengketa TUN selesai.

Sebab, KPU harus membuat surat suara dengan memuat nama, tanda gambar/foto, dan nomor urut peserta pemilu dan caleg-calegnya yang sudah tetap.

Sementara mengenai lelang diatur dalam Perpres pengadaan barang dan jasa yg prosedurnya harus dipatuhi agar tidak terjadi inefisiensi atau korupsi. Selain itu, distribusi logistik bukan hanya ke seluruh wilayah Indonesia, namun juga ke seluruh TPS di 130 perwakilan RI di luar negeri.