Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal menelisik keterlibatan bos PT Soyu Giri Primedika (SGP) terkait kasus suap penanganan perkara di Pengadilan Negeri Surabaya. Apalagi, pemberian suap berkaitan pembubaran perusahaan tersebut.

"Kita masih melihat pengembangan dalam proses selanjutnya," kata Nawawi dikutip dari tayangan YouTube KPK RI, Jumat, 21 Januari.

Nawawi mengatakan tersangka yang sudah ditetapkan pada Kamis, 20 Januari setelah operasi tangkap tangan (OTT) bisa saja bertambah. Apalagi, pengembangan dugaan suap akan terus dilakukan saat penyidikan nanti.

Dalam kasus ini, KPK sudah menetapkan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya nonaktif Itong Isnaeni Hidayat dan panitera pengganti, Hamdan sebagai penerima suap. Sementara pemberi adalah pengacara sekaligus perwakilan dari PT Soyu Giri Primedika, Hendro Kasiono.

"Jadi apa yang kita tampilkan, kita tetapkan hai ini bukan akhir dari proses pengembangan perkara ini," tegasnya.

"Kami akan melakukan pengembangan perkara ini sampai dengan tingkatan yang menurut kami harus dilakukan oleh para penyidik kami," imbuh Nawawi.

Diberitakan sebelumnya, Hakim Itong diduga akan menerima uang melalui panitera pengganti bernama Hamdan. Uang tersebut diberikan oleh Hendro Kasiono agar putusan terhadap perkara PT SGP sesuai kemauan yaitu dinyatakn bubar dengan nilai aset yang bisa dibagi sejumlah Rp50 miliar.

Adapun pemberian uang yang dilakukan Hendro kepada Hamdan dilakukan di parkiran Gedung Pengadilan Negeri Surabaya dengan nilai Rp140 juta. Hanya saja, belum sampai uang itu di tangan Hakim Itong, komisi antirasuah telah melakukan OTT.

Atas perbuatannya, Itong dan Hamdan disangka melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sementara Hendro disangka melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.