JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) mengungkap ada kurang lebih 150 aduan yang masuk terkait dugaan pelanggaran etik hakim di Jawa Timur.
Data ini disampaikan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Hakim Pengadilan Negeri Surabaya nonaktif, Itong Isnaeni Hidayat sebagai tersangka dugaan suap penanganan perkara.
"Bahwa di Jawa Timur ada dugaan melanggar etik kurang lebih ada 150 laporan," kata Komisioner Bidang Pengawasan Perilaku Hakim dan Investigasi KY Joko Sasmito seperti dikutip dari YouTube KPK, Jumat, 21 Januari.
Dengan jumlah aduan itu, Joko mengatakan Jawa Timur duduk di posisi kedua sebagai provinsi yang paling banyak aduan dugaan pelanggaran etik hakim. Sementara duduk di posisi pertama adalah DKI Jakarta kemudian pada posisi ketiga diduduki oleh Sumatera Utara.
"Memang Jawa Timur ini termasuk dua besar ya, laporan pengaduan masyarakat," ungkapnya.
Lebih lanjut, dia memaparkan lembaganya telah menerima 2.645 aduan dugaan pelanggaran etik hakim di Tanah Air tiap pada 2021. Laporan ini ada yang disampaikan secara langsung maupun melalui tembusan.
"Kalau kita baca data di 2021, laporan yang masuk ke KY itu ada 2.645 laporan dan yang langsung ke KY itu ada 1.473 laporan sedangkan yang tembusan ada 992 laporan," ujar Joko.
BACA JUGA:
Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan Hakim Itong sebagai tersangka penerima suap penanganan perkara di PN Surabaya. Penetapan ini diawali oleh operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar Rabu, 19 Januari.
Selain Itong, komisi antirasuah turut menetapkan panitera pengganti, Hamdan dan pengacara serta perwakilan PT SGP. Dalam operasi senyap tersebut, KPK telah menemukan dan menyita uang sebesar Rp140 juta.
Uang tersebut diterima Hamdan dari Hendro di parkiran Gedung Pengadilan Negeri Surabaya. Diduga uang itu sebagai tanda jadi terkait pengurusan perkara agar Itong memutus sesuai kemauan Itong.
Atas perbuatannya, Itong dan Hamdan disangka melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara Hendro disangka melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.