Bagikan:

JAKARTA - Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) pada Hari Rabu menolak permintaan mantan Presiden Donald Trump, untuk memblokir rilis catatan Gedung Putih yang dicari oleh panel Kongres yang dipimpin Partai Demokrat, yang menyelidiki serangan mematikan tahun lalu di Capitol Hill, Washington D.C oleh pendukungnya.

Keputusan itu berarti, dokumen yang dipegang oleh agen federal yang menyimpan catatan pemerintah dan sejarah, dapat diungkapkan termasukn saat proses pengadilan atas masalah tersebut berlanjut di pengadilan yang lebih rendah.

Permintaan Trump kepada hakim datang setelah Pengadilan Banding AS untuk Distrik Columbia pada 9 Desember memutuskan, pengusaha yang berubah menjadi politisi itu tidak memiliki dasar untuk menentang keputusan Presiden Joe Biden yang mengizinkan catatan itu diserahkan komite yang ditetapkan oleh DPR AS.

Politisi Demokrat Bennie Thompson, ketua panel dan politisi Republik Liz Cheney, wakil ketuanya, dalam sebuah pernyataan menyebut tindakan Mahkamah Agung "kemenangan bagi supremasi hukum dan demokrasi Amerika." Komite tersebut telah mulai menerima beberapa dokumen yang diharapkan Trump untuk ditahan, tambah mereka.

Seorang juru bicara Trump tidak segera menanggapi permintaan komentar, terkait dengan penolakan oleh Mahkamah Agung ini.

Mantan Presiden Donald Trump dan sekutunya telah mengobarkan pertempuran hukum yang sedang berlangsung dengan komite, untuk berusaha memblokir akses ke dokumen dan saksi.

Donald Trump berusaha untuk menerapkan prinsip hukum yang dikenal sebagai hak istimewa eksekutif, yang melindungi kerahasiaan beberapa komunikasi internal Gedung Putih, sebuah sikap yang ditolak oleh pengadilan yang lebih rendah.

penyerangan capitol hill
Penyerangan Capitol Hill, Washington D.C, Amerika Serikat. (Wikimedia Commons/TapTheForwardAssist)

Perintah singkat Mahkamah Agung mencatat, pertanyaan berat apakah mantan presiden dapat mengajukan klaim hak istimewa eksekutif tidak perlu dijawab untuk menyelesaikan kasus tersebut.

"Karena pengadilan banding menyimpulkan, klaim Presiden Trump akan gagal bahkan jika dia adalah petahana, statusnya sebagai mantan presiden tentu tidak membuat perbedaan pada keputusan pengadilan," kata perintah yang tidak ditandatangani itu, mengutip Reuters 20 Januari.

Hanya satu dari sembilan anggota pengadilan, Hakim konservatif Clarence Thomas, secara terbuka menyatakan ketidaksetujuan dengan keputusan tersebut.

Sementara itu, Komite DPR AS mengatakan perlu catatan tersebut untuk memahami peran apa pun yang mungkin dimainkan Trump, dalam mengobarkan kekerasan yang terjadi pada 6 Januari 2021.

Pendukungnya menyerbu Gedung Capitol Hill dalam upaya yang gagal untuk mencegah Kongres AS, secara resmi mengesahkan kemenangan Joe Biden atas Donald Trump dalam Pemilihan Presiden 2020.

Komite telah meminta Arsip Nasional, yang menyimpan catatan Gedung Putih Trump, untuk membuat catatan pengunjung, catatan telepon, dan komunikasi tertulis antara para penasihatnya.

Presiden Biden, yang menjabat dua minggu setelah kerusuhan, telah menentukan bahwa catatan, yang menjadi milik cabang eksekutif, tidak boleh tunduk pada hak istimewa eksekutif dan menyerahkannya ke Kongres adalah demi kepentingan terbaik bangsa.

Sebaliknya, Donald Trump berpendapat bahwa dia dapat meminta hak istimewa eksekutif, berdasarkan fakta bahwa dia adalah presiden pada saat itu meskipun dia tidak lagi menjabat.

Hakim Distrik AS Tanya Chutkan pada 9 November menolak argumen Trump, dengan mengatakan dia tidak mengakui 'penghormatan' atas tekad Biden bahwa komite dapat mengakses catatan dan menambahkan, "Presiden bukan raja, dan Penggugat bukan Presiden."

Untuk diketahui, komite yang dipilih terdiri dari tujuh Demokrat dan dua Republik. Mayoritas konservatif 6-3 Mahkamah Agung mencakup tiga hakim agung yang ditunjuk oleh Trump, tetapi tidak selalu menerima permintaannya.

Pengadilan tahun lalu menolak permintaannya untuk memblokir pengungkapan catatan pajaknya, sebagai bagian dari penyelidikan kriminal di New York dan juga menolak upaya Trump dan sekutunya untuk membatalkan pemilihan 2020.