Kritik Pelecehan Nabi Muhammad, PM Pakistan Sampaikan Apresiasi Kepada Presiden Vladimir Putin
Perdana Menteri Pakistan Imran Khan. (Wikimedia Commons/The White House)

Bagikan:

JAKARTA - Perdana Menteri Pakistan Imran Khan mengapresiasi dan memuji Presiden Rusia Vladimir Putin, terkait dengan penghormatan terhadap Nabi Muhammad SAW dalam pernyataannya.

"Baru saja berbicara dengan Presiden Putin terutama untuk mengungkapkan penghargaan saya atas pernyataan tegas, ebebasan berbicara tidak bisa menjadi alasan untuk melecehkan Nabi (Muhammad) SAW. Dia adalah pemimpin Barat pertama yang menunjukkan empati dan kepekaan terhadap sentimen Muslim untuk Nabi SAW tercinta mereka," tulisnya di Twitter.

Selain itu, PM Imran Khan mengatakan kepada Presiden Rusia Vladimir Putin umat Islam mendukung kata-katanya tentang Nabi uhammad SAW.

"PM Imran Khan menekankan, pernyataan presiden Rusia yang dibuat selama konferensi pers tahunan pada 23 Desember (2021), terkait dengan tidak dapat diterimanya tindakan apa pun di bawah kedok kebebasan berekspresi yang merendahkan martabat kelompok agama, nasional, atau sosial tertentu, diterima dukungan luas dari masyarakat Pakistan dan dunia Islam secara keseluruhan," bunyi pernyataan pers Kremlin seperti mengutip TASS 17 Januari.

Kremlin menunjukkan Presiden Putin juga mengingat, Rusia secara historis adalah negara multinasional dan multi-pengakuan di mana orang-orang dari berbagai agama, termasuk Islam, dapat hidup berdampingan dan berinteraksi.

Sebagai hasil dari pembicaraan, pemimpin Rusia dan perdana menteri Pakistan setuju untuk melanjutkan kontak.

"Kami juga membahas cara-cara untuk memajukan perdagangan dan kerja sama lain yang saling menguntungkan antara kedua negara kami. Kami saling mengundang untuk mengunjungi negara kami," sebut PM Imran Khan.

Untuk diketahui, dalam konferensi pers tahunannya Desember lalu, Presiden Putin mengatakan menghina Nabi Muhammad "melanggar kebebasan beragama serta perasaan suci orang-orang yang mengaku Islam."

Pemimpin Rusia itu juga mencatat, perilaku seperti itu "dapat memicu manifestasi ekstremis akut lainnya, bahkan lebih," mengingat serangan teroris di kantor majalah Charlie Hebdo di Paris yang dilakukan setelah menerbitkan beberapa gambar satir.