JAKARTA – Sejarah hari ini, 36 tahun yang lalu, 29 Mei 1988, Presiden Pakistan Zia ul-Haq membubarkan Majelis Nasional (Parlemen). Keputusan itu diambil karena Jenderal Zia menganggap wakil rakyat kerap setengah hati menerapkan hukum Islam di Pakistan.
Sebelumnya, Jenderal Zia dikenal sebagai loyalis Perdana Menteri (PM), Zulfikar Ali Bhutto. Ia diangkatnya jadi Kepala Staf Angkatan Darat (AD) Pakistan. Masalah muncul. Penunjukan itu membuat Zia menguasai militer. Ia pun berbalik menggoyang kuasa pemerintah lewat kudeta.
Muhammad Zia ul-Haq adalah tokoh militer kesohor di Pakistan. Pengabdiannya di AD Pakistan tiada dua. Ia pernah mencicipi ragam posisi di korps militer, dari 1947-1972. Kariernya terus moncer hingga Zulfikar Ali Bhutto kepincut.
PM Pakistan itu menganggap Zia sebagai sosok pemimpin yang cakap. Jabatannya pun dinaikkan jadi Kepala Staf AD. Jabatan itu membuat Zia dikenal luas sebagai loyalis Ali Bhutto. Namun, dunia politik dinamis. Hari ini bisa jadi teman. Besoknya bisa jadi lawan. Hubungan Zia dan Bhutto pun begitu.
Zia mulai menganggap kepemimpinan Ali Bhutto banyak mudarat, ketimbang manfaat. Rezim Ali Bhutto dianggap korup dan sering menyalagunakan kekuasaan. Kondisi itu terlihat kala Ali Bhutto menang dalam pemilu yang diselenggarakan pada 7 Maret 1977.
Zia menganggap Ali Bhutto melakukan kecurangan. Kondisi itu membuat Zia mencanangkan kudeta pada 7 Juli 1977. Kudeta itu mampu membuat Ali Bhutto turun dari kuasa. Zia bahkan menempatkan Ali dalam kursi pesakitan. Ali Bhutto didakwa hukum mati dan gantung.
Kondisi itu membuat Zia menjabat sebagai Kepala Administrator Darurat Militer. Ia lalu bergerak mengubah konstitusi dan menghapus jabatan PM. Penghapuskan itu membuat Presiden sebagai kepala negara tertinggi. Jabatan itu langsung diduduki oleh Zia.
Pemerintahan Zia pun menerapkan syariat Islam. Kekuasaan itu didukung dengan kuasa militerisme. Ia mencoba menjadi pemimpin yang pro rakyat. Pendukung Zia pun bertumbuh. Zia membawa Pakistan jadi negara kuat. Apalagi, Zia sendiri Muslim yang taat.
Zia kerap menaikkan hajat hidup kaum ulama. Satu-satunya masalah Zia adalah pemerintahannya represif. Kondisi membuat mereka anti kritik, utamanya kritik dari loyalis Ali Bhutto.
“Secara keseluruhan, dia menjalani kehidupan sederhana dan shalat lima waktu sehari. Namun, upaya penerapan hukum Islam juga dipandang membantunya memperkuat dukungan politik dari banyak, bahkan sebagian besar pemimpin agama.”
“Di bawah kepemimpinan Jenderal Zia, Pemerintah telah menyenangkan para ulama dengan membangun masjid di daerah pedesaan, memberikan akses yang lebih besar kepada para mullah (ulama). Ia juga menunjuk banyak mullah ke dalam kelompok penasihat,” ungkap Steven R. Weisman dalam tulisannya di surat kabar The New York Times berjudul The 'Islamization' of Pakistan: Still Moving Slowly and Still Stirring Debate (1986).
Penerapan syariat Islam tak berlangsung mulus. Ia kerap mendapat kritik dari sana-sini. Kritik bahkan muncul dari anggota dewan Majelis Nasional. Mereka menganggap hukum Islam sudah tak cocok lagi diterapkan di Pakistan.
BACA JUGA:
Kondisi itu membuat Majelis Nasional setengah hati dalam meluaskan hukum Islam di Pakistan. Zia berang bukan main. Ia memandang legislator telah gagal dalam tugasnya. Ia tak kuasa lagi memberi ruang partai-partai oposisi selalu menyerang kebijakannya.
Zia berpandangan Pakistan akan lebih baik tanpa partai politik pengganggu. Ia pun memilih untuk membubarkan parlemen pada 29 Mei 1988.
“Majelis Nasional telah gagal mewujudkan tujuan pemilihannya. Perdana menteri Mohammed Khan Junejo tidak lagi menjadi perdana menteri mulai hari ini, karena Majelis Nasional telah dibubarkan,” ungkap Presiden Pakistan Zia sebagaimana dikutip surat kabar Los Angeles Times dalam laporannya berjudul Pakistan’s Zia Dissolves Assembly, Fires Prime Minister (1988).