Uang Rp1 Miliar di Koper Hitam Antarkan Bupati Penajam Paser Utara ke Rutan KPK
KPK menunjukkan barang bukti terkait OTT Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas'ud (Wadhany Tsa Tsia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas'ud sebagai tersangka dugaan suap pengadaan barang dan jasa serta perizinan. Penetapan ini dilakukan setelah dia terjerat operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu, 12 Januari kemarin di sebuah mal di Jakarta.

Berompi oranye dan tangan diborgol, Abdul Gafur berjalan menuju ruang konferensi pers. Dia menjadi tersangka penerima suap bersama Plt Sekda Kabupaten Penajam Paser Utara Mulyadi; Kepala Dinas PU dan Tata Ruang Kabupaten Penajam Paser Utara Edi Hasmoro; dan Kepala Dinas Bidang Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Penajam Paser Utara Jusman, dan Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan, Nur Afifah Balqis.

Sementara sebagai tersangka pemberi suap, KPK menetapkan pihak swasta bernama Achmad Zudi.

"Ditemukan bukti permulaan yang cukup sehingga KPK meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan mengumumkan tersangka," kata Alexander dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, 13 Januari.

Alexander menjelaskan kasus ini bermula pada 2021 di mana Pemkab Penajam Paser Utara mengagendakan beberapa proyek pekerjaan di Dinas PUPR dan Tata Ruang serta Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga.

Dia mengungkap nilai proyek ini disebut mencapai Rp112 miliar dengan rincian untuk proyek multiyears peningkatan Jalan Sotek-Bukit Subur dengan nilai kontrak Rp58 miliar dan pembangunan gedung perpustakaan senilai Rp9,9 miliar.

"Atas adanya proyek tersebut, tersangka AGM selaku bupati diduga memerintahkan tersangka MI selaku Plt Sekda Kabupaten Penajam Paser Utara, tersangka EH sebagai Kepala Dinas PU RT, dan JM selaku Kepala Bidang Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga untuk mengumpulkan sejumlag uang dari para rekanan yang sudah mengerjakan proyek fisik," ungkapnya.

Berikutnya, KPK juga mengungkap Abdul Gafur menerima sejumlah uang yang diduga terkait penerbitan perizinan, termasuk izin hak guna usaha lahan sawit dan bleach plant atau pemecah batu pada Dinas PU dan Tata Ruang Kabupaten Penajam Paser Utara.

Selain diperintah untuk mengumpulkan uang, Mulyadi bersama Edi dan Jusman juga menjadi orang kepercayaan Abdul untuk mengelola dan menjadi representasi dirinya menerima uang dari. Adapun uang tersebut digunakan untuk kepentingan pribadinya.

Sementara tersangka Abdul bersama Balqis tinggal menerima dan mengelola uang yang masuk. Uang ini, kata Alexander, masuk ke rekening milik Balqis yang juga digunakan untuk kepentingan Abdul.

"Di samping itu tersangka AGM juga diduga telah menerima uang tunai sejumlah Rp1 miliar dari tersangka AZ yang mengerjakan proyek jalan dengan nilai kontrak Rp64 miliar di Kabupaten Penajam Paser Utara," jelas Alexander.

Koper hitam berisi Rp1 miliar ditemukan

Dalam kesempatan itu, Alexander memaparkan komisi antirasuah menyita uang pecahan rupiah maupun saldo rekening dan barang belanjaan saat melakukan operasi senyap.

Salah satu barang belanjaan yang ikut disita adalah topi berjenis bucket hat berwarna hitam bermotif tulisan Dior dan sebuah tas belanja bermerk Zara.

"Barang bukti berupa uang tunai sejumlah Rp1 miliar dan rekening bank dengan saldo Rp447 juta serta sejumlah barang belanjaan dibawa ke Gedung Merah Putih," ujar Alex.

Dia menjelaskan operasi senyap yang dilakukan timnya itu berawal dari informasi masyarakat tentang adanya dugaan penerimaan sejumlah uang oleh penyelenggara negara. Selanjutnya, tim KPK berpencar ke sejumlah wilayah di Jakarta dan Kalimantan Timur.

Hasilnya, KPK mengetahui adanya pengumpulan uang dari kontraktor melalui Plt Sekda Kabupaten Penajam Paser Utara Mulyadi dan Kepala Dinas Bidang Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Penajam Paser Utara Jusman sebagai pemenuhan perintah Abdul Gafur pada Rabu, 12 Januari.

Alexander mengungkap pengumpulan uang tersebut dilakukan di salah satu cafe di kota Balikpapan dan didaerah sekitar Pelabuhan Semayang. "Uang dalam bentuk tunai yang terkumpul sejumlah sekitar Rp950 juta, selanjutnya setelah uang terkumpul, NP kemudian melaporkan kepada AGM bahwa uang siap untuk diserahkan kepada AGM," katanya.

Adapun NP adalah Nis Purhadi yang merupakan orang kepercayaan Abdul Gafur. Selanjutnya, Nis diperintah Abdul untuk membawa uang tersebut ke Jakarta.

Setibanya di Jakarta, Nis kemudian dijemput oleh orang kepercayaan Abdul yang lain dan mendatangi rumahnya di Jakarta Barat untuk menyerahkan uang yang dibawanya.

Selanjutnya, Abdul bersama Nis dan Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan, Nur Afifah Balqis berkunjung ke salah satu mal di Jakarta Selatan dengan membawa uang ratusan juta tersebut.

"Atas perintah AGM, NAB kemudian menambahkan uang sejumlah Rp50 juta dari uang yang ada di rekening bank miliknya sehingga uang yang terkumpul sejumlah Rp1 miliar dan dimasukkan ke dalam tas koper yang sudah disiapkan," jelas Alexander.

Kemudian saat mereka bertiga akan keluar dari mal, Alexander mengatakan anak buahnya menyergap mereka bersama uang Rp1 miliar dalam koper berwarna hitam. Selain itu, ditemukan juga uang yang tersimpan dalam rekening bank milik Balqis sejumlah Rp447 juta.

"Diduga milik tersangka AGM yang diterima dari para rekanan," ujarnya.

Setelah ditetapkan sebagai tersangka, keenam orang tersebut kemudian akan ditahan di Rutan KPK selama 20 hari pertama terhitung sejak Kamis, 13 Januari hingga 1 Februari mendatang.

Akibat perbuatannya, Abdul, Mulyadi, Edi, Jusman, dan Nur selaku penerima disangka melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Sementar itu Zuhdi sebagai pemberi disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.