JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan, Nur Afifah Balqis ditetapkan sebagai tersangka karena turut mengelola uang suap Bupati Penajam Paser Utara nonaktif Abdul Gafur Mas'ud.
"Uang dari rekanan itu ada yang diberikan dan disimpan di rekening dari NAB," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata yang dikutip dari tayangan YouTube KPK RI, Jumat, 14 Januari.
Diketahui, KPK berhasil menemukan uang senilai Rp1 miliar dalam koper dan Rp447 juta di rekening milik Balqis dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar pada Rabu, 12 Januari.
Meski begitu KPK belum memerinci apakah uang tersebut juga akan mengalir ke Partai Demokrat. Sebab, Alexander mengatakan, informasi ini akan didalami saat proses penyidikan.
"Apakah ada aliran dana ke partai, itu nanti yang akan didalami di dalam proses penyidikan. Tetapi informasi sampai dengan saat ini belum kami dapat," tegasnya.
Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan Abdul Gafur bersama Plt Sekda Kabupaten Penajam Paser Utara Mulyadi; Kepala Dinas PU dan Tata Ruang Kabupaten Penajam Paser Utara Edi Hasmoro; dan Kepala Dinas Bidang Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Penajam Paser Utara Jusman, dan Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan, Nur Afifah Balqis sebagai penerima suap.
BACA JUGA:
Sementara sebagai tersangka pemberi suap, KPK menetapkan seorang dari pihak swasta bernama Achmad Zudi. Keenam orang ini ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap pengadaan barang dan jasa serta pemberian izin di Kabupaten Penajam Paser Utara.
Akibat perbuatannya Abdul, Mulyadi, Edi, Jusman, dan Nur selaku penerima disangka melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara Zuhdi selaku pemberi disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.